Bupati Bima dan Krisis Demokrasi Lokal: Ketika Kritik Dibalas Represi

Di tengah semangat reformasi yang terus digaungkan, praktik demokrasi di tingkat lokal justru menunjukkan gejala kemunduran. Kabupaten Bima menjadi salah satu contoh nyata di mana kebebasan berekspresi, yang dijamin oleh konstitusi, berhadapan dengan tembok kekuasaan yang menolak kritik. Alih-alih ruang dialog, demonstrasi kerap berakhir dengan jeratan hukum dan kriminalisasi.

Mahasiswa Pascasarjana Unhas, berdarah HmI, Taufikurrahman. (Foto: Netral.co.id/F.R)

Oleh: Taufikurrahman

Bima, Netral.co.id – Di tengah semangat reformasi yang terus digaungkan, praktik demokrasi di tingkat lokal justru menunjukkan gejala kemunduran. Kabupaten Bima menjadi salah satu contoh nyata di mana kebebasan berekspresi, yang dijamin oleh konstitusi, berhadapan dengan tembok kekuasaan yang menolak kritik. Alih-alih ruang dialog, demonstrasi kerap berakhir dengan jeratan hukum dan kriminalisasi.

Penahanan terhadap mahasiswa dan warga yang menyuarakan aspirasi, seperti dalam aksi damai menuntut pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa, mencerminkan kegagalan pemerintah daerah dalam mengelola perbedaan secara demokratis. Ini bukan sekadar soal penegakan hukum, melainkan cerminan dari lemahnya komitmen terhadap nilai-nilai hak asasi manusia dan prinsip partisipatif dalam tata kelola pemerintahan.

Baca Juga: Provinsi Pulau Sumbawa: Harapan Rakyat atau Ilusi Elite?

Sebagai pemimpin daerah, Bupati Bima memegang peran strategis dalam menjamin kebebasan sipil warganya. Namun, respons yang lebih menonjolkan represi dibandingkan upaya dialog justru memperlihatkan kecenderungan otoritarianisme terselubung. Ketika kritik dianggap ancaman, dan demonstrasi diperlakukan sebagai kejahatan, maka demokrasi lokal tengah berada di ujung tanduk.

Pendekatan keamanan yang dominan dan minim empati hanya akan memperlebar jurang antara pemerintah dan rakyat. Lebih dari sekadar mengatur, tugas kepala daerah adalah menjadi fasilitator aspirasi. Penindasan terhadap suara rakyat bukan hanya merusak citra pemerintah daerah, tetapi juga merapuhkan fondasi demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah sejak reformasi 1998.

Perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap pendekatan pemerintah daerah dalam merespons dinamika sosial politik. Forum warga, kanal aduan publik, serta ruang diskusi terbuka harus difungsikan sebagai mekanisme demokratis dalam menyelesaikan perbedaan. Di saat yang sama, Bupati Bima juga perlu menunjukkan sikap tegas: menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap mahasiswa, aktivis, dan warga sipil yang menyampaikan kritik secara damai.

Menjadi pemimpin bukan hanya soal pembangunan fisik, tetapi juga menjaga dan memperkuat infrastruktur demokrasi. Jika aspirasi terus dibungkam dan demonstrasi terus dibalas dengan jeruji besi, maka pemerintah daerah tidak sedang membangun, tetapi justru mengkhianati cita-cita reformasi.

Baca Juga: Fahri Hamzah Sebut Pulau Sumbawa Layak Jadi Provinsi Baru

Comment