Provinsi Pulau Sumbawa: Harapan Rakyat atau Ilusi Elite?

Wacana pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) kembali menggema, kali ini dengan embusan angin segar dari Kemendagri yang menyebut Sumbawa masuk dalam daftar 32 calon daerah otonomi baru (DOB) yang layak dimekarkan.

Aktivis muda sekaligus Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Hasanuddin. (Foto: Netral.co.id/F.R)

Oleh: Bung Farden

Netral.co.id – Wacana pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) kembali menggema, kali ini dengan embusan angin segar dari Kemendagri yang menyebut Sumbawa masuk dalam daftar 32 calon daerah otonomi baru (DOB) yang layak dimekarkan. Namun, pertanyaannya bukan sekadar “layak atau tidak”, tapi siapa yang benar-benar diuntungkan dari pemekaran ini?

Secara konseptual, pemekaran daerah selalu dikemas manis: efisiensi birokrasi, percepatan pembangunan, dan penguatan identitas lokal. Namun, realita politik dan ekonomi berkata lain. Kita tak sedang membicarakan mimpi, tapi sejarah panjang dari DOB-DOB yang setelah dimekarkan justru terseok-seok mengurus diri sendiri. Alih-alih efisien, justru muncul struktur birokrasi baru yang tambun, lamban, dan rakus anggaran.

Beban Baru Bernama “Harapan”

Mari jujur: banyak pemekaran hanya mengganti pusat ketimpangan dari satu kota ke kota baru, bukan menghapus ketimpangan itu sendiri. Pusat pemerintahan baru dibangun megah, jalan mulus ke kantor bupati baru, tapi jalan desa tetap becek dan sekolah tetap reyot. Apa bedanya?

Tak hanya itu, otonomi yang dijanjikan sering kali berubah jadi ladang kekuasaan baru bagi elite lokal. Jabatan-jabatan baru dibentuk bukan untuk melayani rakyat, tapi untuk memuaskan hasrat politik yang haus kekuasaan. Demokrasi lokal pun akhirnya hanya menjadi panggung kecil bagi aktor lama dalam kostum baru.

Pulau Sumbawa: Siapkah atau Sekadar Siap-Siap?

Memang, Pulau Sumbawa punya potensi. Sumber daya alam, budaya lokal yang kuat, dan semangat masyarakatnya jelas tak bisa diabaikan. Namun, potensi bukan jaminan jika tak dibarengi kapasitas fiskal, birokrasi yang solid, dan tata kelola yang transparan. Apakah para pengusung PPS sudah menjawab tiga pertanyaan penting ini?

  1. Siapkah PPS secara keuangan tanpa ketergantungan abadi pada dana pusat?
  2. Siapkah birokrasi dan infrastruktur dasar dibangun tanpa menelantarkan pelayanan publik?
  3. Siapkah masyarakat dilibatkan sebagai subjek, bukan objek politik pemekaran?

Moratorium: Rem Darurat yang Masih Dibutuhkan

Sebab peta Indonesia bukan cuma soal garis batas, tapi juga soal siapa yang akan merasakan manfaatnya ketika garis itu ditarik ulang.

Comment