Netral.co.id – Mulai tahun 2026, dokumen tradisional seperti Girik, Letter C, Petok D, Landrente, Kekitir, dan Petuk Pajak Bumi tidak lagi diakui sebagai bukti sah kepemilikan tanah.
Kebijakan ini didasarkan pada Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 16 Tahun 2021 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021, yang mewajibkan seluruh pemilik tanah untuk mengurus sertifikasi sebagai bentuk legalitas kepemilikan.
Kebijakan ini menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat, terutama bagi mereka yang masih bergantung pada dokumen tradisional sebagai bukti kepemilikan.
Salah satu kekhawatiran utama adalah apakah waktu yang tersisa cukup bagi masyarakat, khususnya di pedesaan, untuk mengurus sertifikat tanah mereka sebelum aturan ini berlaku.
Sementara itu, pemerintah menilai perubahan ini sebagai langkah untuk mengurangi sengketa tanah yang kerap terjadi akibat penggunaan dokumen tradisional yang rentan terhadap pemalsuan dan klaim ganda.
Maraknya kasus mafia tanah yang memanfaatkan dokumen lama untuk mempermasalahkan kepemilikan lahan juga menjadi salah satu alasan utama di balik kebijakan ini.
Dengan diberlakukannya aturan ini, dokumen tradisional tetap dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran tanah dalam sistem administrasi pertanahan nasional, tetapi tidak lagi memiliki kekuatan hukum sebagai bukti kepemilikan.
Oleh karena itu, pemerintah mengimbau masyarakat untuk segera mengurus sertifikat tanah guna mendapatkan perlindungan hukum yang lebih kuat dan menghindari potensi sengketa di masa depan.
Bagi pemilik tanah yang masih menggunakan dokumen tradisional, proses sertifikasi tanah menjadi langkah penting untuk memastikan kepemilikan mereka tetap diakui secara hukum setelah 2026.
Comment