Jakarta, Netral.co.id – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menghadapi sejumlah dinamika dalam implementasi kebijakan publik di awal masa pemerintahannya.
Tercatat, tiga kebijakan strategis yang sempat diumumkan secara resmi akhirnya dibatalkan karena berbagai pertimbangan, mulai dari penolakan publik hingga kendala teknis.
Ketiga kebijakan tersebut dinilai memiliki dampak luas terhadap masyarakat. Namun, kurangnya kesiapan dalam perencanaan dan pelaksanaan menjadi faktor utama yang memaksa pemerintah melakukan peninjauan ulang.
Baca Juga: Presiden Prabowo Akui Masih Banyak Praktik Korupsi di Lingkup Pemerintahan
Berikut rangkuman tiga kebijakan yang batal diterapkan:
- Rencana Kenaikan PPN 12 Persen Dibatalkan
Pemerintah sempat mengumumkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen, yang direncanakan berlaku pada akhir 2024.
Namun, kebijakan ini menuai kritik keras dari berbagai kalangan, termasuk pelaku usaha dan masyarakat umum, karena dikhawatirkan akan meningkatkan beban ekonomi di tengah pemulihan daya beli.
Atas pertimbangan tersebut, Presiden Prabowo bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani memutuskan untuk menunda bahkan membatalkan rencana tersebut.
Pemerintah memilih mempertahankan insentif fiskal untuk menjaga stabilitas ekonomi dan konsumsi rumah tangga.
- Larangan Penjualan Elpiji 3 Kg oleh Pengecer Dicabut
Kebijakan pembatasan distribusi gas elpiji 3 kg yang mulai diberlakukan per 1 Februari 2025 menyebabkan kepanikan dan kelangkaan pasokan di sejumlah wilayah. Antrian panjang dan kesulitan akses di tingkat pengecer memicu keresahan warga.
Hanya tiga hari berselang, Presiden Prabowo resmi mencabut larangan tersebut pada 4 Februari. Pemerintah mengakui perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kesiapan sistem distribusi dan pendekatan yang lebih bertahap dalam pelaksanaan kebijakan energi.
- Diskon 50 Persen Tarif Listrik Gagal Terlaksana
Program potongan tarif listrik sebesar 50 persen untuk pelanggan rumah tangga berdaya di bawah 1.300 VA yang dirancang untuk berlangsung selama Juni–Juli 2025 juga urung dijalankan.
Baca Juga: Putusan MK Soal Sisdiknas: Ujian Awal Komitmen Presiden Prabowo terhadap Pendidikan Gratis
Kementerian Keuangan menyebut keterlambatan proses penganggaran dan alokasi dana sebagai alasan utama kegagalan implementasi.
Sebagai gantinya, pemerintah memperluas cakupan Bantuan Subsidi Upah (BSU) guna menjaga daya beli kelompok rentan.
Pengamat kebijakan publik menilai bahwa pembatalan beruntun tersebut mencerminkan perlunya penguatan mekanisme perencanaan dan mitigasi risiko dalam penyusunan kebijakan pemerintah.
Meski dibatalkan demi kepentingan masyarakat, langkah ini dinilai dapat mengurangi kredibilitas serta kepercayaan publik terhadap konsistensi arah pemerintahan.
Comment