Pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa: Aspirasi Rakyat atau Proyek Elit?

Wacana pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa terus menggema. Dari forum-forum elite politik lokal, seminar akademik, hingga perbincangan masyarakat sipil di media sosial, semua tampak mengarah pada satu suara: pembentukan provinsi baru dianggap sebagai jawaban atas berbagai problem struktural di Pulau Sumbawa.

Muhammad Kurniansyah (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar). (Foto: Netral.co.id)

Oleh: Muhammad Kurniansyah (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar)

Netral.co.id – Wacana pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa terus menggema. Dari forum-forum elite politik lokal, seminar akademik, hingga perbincangan masyarakat sipil di media sosial, semua tampak mengarah pada satu suara: pembentukan provinsi baru dianggap sebagai jawaban atas berbagai problem struktural di Pulau Sumbawa. Argumennya jelas pelayanan publik terbatas, infrastruktur tertinggal, ekonomi tak berkembang optimal, dan representasi politik masih timpang.

Namun justru dalam situasi di mana hampir semua pihak terdengar sepakat, penting bagi kita untuk berhenti sejenak dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar. Apakah pemekaran ini benar-benar aspirasi rakyat yang tumbuh dari bawah? Atau justru sebuah konstruksi kekuasaan yang tengah dibangun secara sistematis oleh elite tertentu?

Mengungkap Mekanisme Kekuasaan dalam Wacana Pemekaran

Dalam teori kekuasaan yang dikemukakan Michel Foucault, kekuasaan tidak selalu bekerja lewat represi atau pemaksaan. Ia seringkali bekerja secara halus melalui wacana, data, narasi, dan yang disebut Foucault sebagai regime of truth kebenaran yang dibentuk dan dikukuhkan oleh relasi kuasa yang dominan. Dalam konteks ini, wacana pemekaran tidak bisa dibaca sebagai kehendak netral, tetapi harus dibedah: siapa yang berbicara, atas nama siapa, dan dengan cara bagaimana narasi itu dibentuk?

Kata-kata seperti tertinggal, terisolasi, kurang layanan publik yang digunakan dalam narasi pemekaran bukan sekadar deskripsi realitas. Ia adalah konstruksi yang memiliki dampak politik. Ia membentuk persepsi bahwa masyarakat Pulau Sumbawa perlu diselamatkan melalui struktur provinsi baru, dan seolah-olah hanya itu satu-satunya solusi rasional.

Menariknya, hingga saat ini, negara secara formal belum menyatakan sikap resmi terhadap usulan pemekaran ini. Namun bahkan tanpa restu negara, kekuasaan sudah bekerja. Para elite lokal, tokoh adat, dan organisasi sipil telah menyusun argumen, menyebarkan data, dan mengajukan narasi aspiratif tentang masa depan Sumbawa yang lebih baik sebagai provinsi sendiri. Logika administratif negara telah menjelma menjadi cara berpikir bersama, padahal belum tentu seluruh masyarakat menginginkan atau membutuhkan pemekaran.

Sejarah Pemekaran: Harapan atau Beban?

Sejarah pemekaran daerah di Indonesia dalam dua dekade terakhir memberikan pelajaran penting. Tidak sedikit daerah baru hasil pemekaran yang justru mengalami stagnasi ekonomi, inefisiensi birokrasi, tumpang tindih kewenangan, dan membengkaknya anggaran belanja pegawai. Apa yang semula dijanjikan sebagai cara untuk mendekatkan negara kepada rakyat, dalam praktiknya justru memperluas jarak karena terlalu fokus membangun gedung-gedung pemerintahan ketimbang infrastruktur publik yang dibutuhkan rakyat.

Contohnya bisa dilihat di beberapa kabupaten/kota hasil pemekaran yang masih bergantung pada dana transfer pusat, minim sumber daya lokal, dan akhirnya dikuasai segelintir elite politik daerah. Harapan tentang hadirnya negara berubah menjadi beban struktural baru: anggaran yang bocor, perebutan jabatan, dan konflik kepentingan yang tajam antar-elite.

Lantas, apa jaminan bahwa skenario serupa tidak akan terulang di Pulau Sumbawa?

Antara Aspirasi dan Strategi Politik
Salah satu masalah paling serius dalam perbincangan pemekaran adalah kaburnya batas antara aspirasi rakyat dan strategi elite. Tidak semua yang disebut aspirasi benar-benar lahir dari bawah. Sebagian adalah rekayasa dari atas didesain, dikemas, dan dipasarkan sebagai suara rakyat. Aspirasi yang otentik tentu perlu dihormati. Tapi ketika aspirasi hanya diproduksi untuk melayani ambisi politik elite, maka kita sedang membangun rumah di atas fondasi yang rapuh.

Dalam konteks Pulau Sumbawa, kita melihat konsolidasi wacana yang sangat masif. Namun bagaimana dengan suara-suara yang berbeda? Apakah ada ruang yang cukup bagi publik untuk mendiskusikan opsi-opsi lain selain pemekaran? Apakah telah dilakukan survei partisipatif yang inklusif? Apakah narasi tentang “keberhasilan” pemekaran telah dibuka untuk kritik?

Ironisnya, kritik terhadap pemekaran sering kali dianggap sebagai tindakan tidak nasionalis, anti-kemajuan, atau bahkan pengkhianatan terhadap daerah sendiri. Padahal, kritik justru lahir dari tanggung jawab moral dan intelektual untuk memastikan bahwa setiap langkah perubahan benar-benar berpijak pada kebutuhan rakyat, bukan pada selera politik elite.

Menolak Bukan ‘Anti’

Perlu digarisbawahi, sikap kritis terhadap wacana pemekaran bukan berarti menolak seluruh gagasan pembangunan. Pemekaran bisa jadi solusi, tapi bukan satu-satunya. Dalam banyak kasus, yang lebih dibutuhkan adalah reformasi tata kelola, peningkatan kapasitas birokrasi lokal, dan pemerataan distribusi anggaran dari pusat.

Membangun provinsi baru adalah langkah besar yang harus dilandasi oleh bukti, bukan semata semangat. Dibutuhkan evaluasi mendalam, kajian akademik yang objektif, serta partisipasi publik yang luas dan inklusif. Jangan sampai keputusan sebesar ini hanya lahir dari ruang elite, tetapi berdampak luas pada jutaan masyarakat.

Memekarkan Pikiran, Bukan Hanya Wilayah

Sebelum kita berbicara tentang memekarkan wilayah, mungkin kita perlu lebih dulu memekarkan cara berpikir. Bahwa pembangunan tidak selalu identik dengan pembentukan provinsi baru. Bahwa keadilan sosial tidak melulu soal kedekatan geografis dengan pusat pemerintahan, melainkan tentang kehadiran negara yang adil, efektif, dan berpihak pada rakyat.

Pemekaran harus diuji, bukan hanya disambut. Harus dikritisi, bukan hanya dipromosikan. Dan jika pemekaran itu benar-benar akan terjadi, maka itu harus dipastikan sebagai kehendak rakyat yang sadar dan rasional, bukan sebagai hasil dari strategi kekuasaan yang canggih namun manipulatif.

Comment