Jakarta, Netral.co.id – Komisi I DPR RI mendesak pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), untuk segera mengembangkan dan menggunakan server mandiri nasional dalam program digitalisasi pendidikan. Langkah ini dinilai penting untuk menjaga kedaulatan data dan mencegah intervensi asing dalam pengelolaan data pelajar Indonesia.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, menegaskan bahwa pembangunan ekosistem digital yang mandiri dan tahan gangguan harus menjadi prioritas nasional, terutama di sektor strategis seperti pendidikan.
Baca Juga: Kejagung Dalami Dugaan Korupsi Chromebook, Pasal Belum Ditentukan
“Pembangunan ekosistem digital yang lebih mandiri dan berdaya tahan harus menjadi prioritas, guna memastikan bahwa pengelolaan data pendidikan sepenuhnya berada dalam kendali nasional dan tidak menimbulkan risiko terhadap keamanan informasi strategis,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (15/6/2025).
Dave juga menyoroti ketergantungan terhadap penyedia teknologi asing, seperti Google, yang berpotensi menimbulkan celah penyalahgunaan data untuk kepentingan komersial.
“Keberadaan server nasional untuk program pendidikan sangat penting guna memastikan kedaulatan data dan menghindari ketergantungan pada pihak asing,” tambahnya.
Ia merujuk pada kasus korupsi pengadaan laptop Chromebook dalam program digitalisasi pendidikan yang saat ini sedang ditangani Kejaksaan Agung.
Kasus Chromebook dan Keterlibatan Google dalam Digitalisasi Pendidikan
Dalam rentang 2019–2022, Kemendikbudristek di bawah Menteri Nadiem Makarim meluncurkan program pengadaan perangkat TIK (teknologi informasi dan komunikasi) senilai Rp9,98 triliun, termasuk kerja sama dengan Google melalui inisiatif Google for Education.
Program ini mencakup pengadaan laptop berbasis Chrome OS (Chromebook), penggunaan sistem komputasi awan (cloud), hingga pengembangan platform Belajar.id. Namun, uji coba awal Chromebook oleh Pustekkom pada 2018–2019 menunjukkan ketidaksesuaian dengan kondisi infrastruktur internet di banyak daerah.
Menurut Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar, terdapat dugaan adanya rekayasa kajian teknis yang mengarahkan pemilihan sistem operasi Chrome OS, meski kajian awal justru merekomendasikan Windows.
Penyidik menduga permufakatan jahat terjadi di balik perubahan rekomendasi tersebut. Total anggaran pengadaan terbagi atas Rp3,58 triliun dari APBN Kemendikbudristek dan Rp6,39 triliun dari Dana Alokasi Khusus (DAK).
Nadiem Membantah Arahkan Kajian Teknis
Menanggapi penyidikan Kejagung, mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim membantah bahwa dirinya terlibat dalam pengubahan kajian teknis. Menurutnya, uji coba awal Chromebook dilakukan saat masa jabatan Muhadjir Effendy, dan menyasar sekolah di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) yang memang belum memiliki infrastruktur internet memadai.
“Pada masa kepemimpinan saya, kajian teknis dilakukan ulang dengan mempertimbangkan kesiapan sekolah yang memiliki akses internet memadai,” kata Nadiem dalam konferensi pers, Selasa (10/6/2025).
Ia menekankan bahwa pengadaan hanya ditujukan untuk sekolah yang memenuhi syarat infrastruktur, bukan untuk daerah 3T.
“Saya ingin mengklarifikasi bahwa proses pengadaan laptop yang terjadi di masa jabatan saya tidak ditargetkan untuk daerah 3T,” tegasnya.
DPR Minta Evaluasi Menyeluruh dan Perkuat Infrastruktur Nasional
Dave Laksono juga menyoroti lemahnya infrastruktur digital nasional, merujuk pada insiden gangguan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) yang sempat terjadi.
Baca Juga: Dugaan Korupsi Chromebook: MAKI Desak Kejagung Usut Peran Google dan Suami Eks Staf Khusus Mendikbud
“Gangguan teknis pada PDNS menunjukkan bahwa Indonesia masih perlu memperkuat infrastruktur digital agar data pendidikan tetap aman dan tidak mudah diakses oleh pihak luar,” pungkasnya.
Komisi I DPR RI mendorong pemerintah untuk membangun sistem cloud nasional, mempercepat transformasi digital berbasis kedaulatan, dan meninjau ulang seluruh bentuk kerja sama yang melibatkan data strategis dengan pihak asing.
Comment