Negara Absen di Raja Ampat: Saat Surga Laut Menanti Kehancuran

Raja Ampat, gugusan kepulauan di Papua Barat Daya yang menyandang predikat sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia, kini berada di ambang kehancuran. Ironisnya, ancaman itu datang bukan dari bencana alam, melainkan dari ulah manusia baik wisatawan, pelaku industri, hingga pemburu ikan ilegal yang mengekspolitasi wilayah ini tanpa kendali. Lebih ironis lagi, negara tampak enggan hadir untuk melindunginya.

Taufikurrahman, Kader HmI cabang Gowa Raya. (Foto: Netral.co.id)

Oleh: Taufikurrahman, Kader Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Gowa Raya

Netral.co.idRaja Ampat, gugusan kepulauan di Papua Barat Daya yang menyandang predikat sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia, kini berada di ambang kehancuran. Ironisnya, ancaman itu datang bukan dari bencana alam, melainkan dari ulah manusia baik wisatawan, pelaku industri, hingga pemburu ikan ilegal yang mengekspolitasi wilayah ini tanpa kendali. Lebih ironis lagi, negara tampak enggan hadir untuk melindunginya.

Sebagai Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD), Raja Ampat seharusnya mendapatkan perlindungan maksimal. Namun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya: pengawasan longgar, penegakan hukum lemah, dan kebijakan konservasi yang kerap tak lebih dari dokumen formal tanpa eksekusi nyata. Akibatnya, praktik perusakan seperti bom ikan, racun, dan pelayaran kapal wisata yang merusak terumbu karang masih terus terjadi.

Ketidakhadiran negara dalam konteks ini tidak bisa dibaca sebagai sikap netral, melainkan bentuk pembiaran. Padahal, UUD 1945 secara tegas mengamanatkan perlindungan lingkungan demi kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Ketika aparat lambat bertindak atas insiden pencemaran, atau diam saat kawasan konservasi dilanggar, negara kehilangan wajahnya sebagai pelindung rakyat dan penjaga kedaulatan ekologis.

Aktivitas pariwisata yang tumbuh pesat di Raja Ampat turut menjadi pisau bermata dua. Tanpa regulasi ketat dan pengelolaan berbasis ekowisata, keindahan yang dijual justru hancur oleh beban wisatawan, limbah, dan infrastruktur yang tak ramah lingkungan. Pernyataan Mama Paulina, tokoh adat setempat kalau laut ini rusak, ‘kami juga ikut rusak’ adalah pengingat bahwa lingkungan bukan sekadar lanskap ekonomi, tapi ruang hidup dan warisan budaya yang tak tergantikan.

Menurut data WWF Indonesia, lebih dari 40% terumbu karang di titik-titik tertentu Raja Ampat berada dalam kondisi terancam. Jika dibiarkan, kerusakan ini akan menjadi luka ekologis permanen, bukan hanya bagi Indonesia, tetapi bagi dunia. Seperti ditegaskan Dr. Abdurrahman Sulaiman dari Universitas Hasanuddin, kehilangan Raja Ampat adalah kehilangan ekosistem laut global.

Solusi yang perlu segera diterapkan bukan sekadar jargon pembangunan berkelanjutan, melainkan langkah konkret: pembatasan jumlah wisatawan, peningkatan kapasitas pemandu dan pengawasan laut, serta pelibatan masyarakat adat dalam pengambilan kebijakan. Negara tidak boleh terus-menerus berlindung di balik retorika konservasi, sementara surga laut perlahan-lahan musnah di depan mata.

Menjaga Raja Ampat adalah ujian sejauh mana Indonesia serius mengelola kekayaan alamnya. Jika negara terus memilih diam, maka kelak yang tersisa dari Raja Ampat hanyalah cerita nostalgia dan penyesalan.

Comment