Revisi UU Polri Dinilai Perluas Kewenangan Tanpa Kontrol, Pengawasan Terancam Melemah

Para pengamat keamanan dan organisasi masyarakat sipil menilai, draf revisi tersebut justru berpotensi memperkuat kewenangan Polri secara berlebihan tanpa diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang memadai.

Ilustrasi UU Polri yang tengah direvisi. (Foto:dok)

Jakarta, Netral.co.id – Rencana revisi Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) yang tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menuai penolakan dari berbagai kalangan.

Para pengamat keamanan dan organisasi masyarakat sipil menilai, draf revisi tersebut justru berpotensi memperkuat kewenangan Polri secara berlebihan tanpa diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang memadai.

Dalam sejumlah kajian, revisi tersebut dianggap tidak menyentuh akar persoalan utama dalam tubuh kepolisian, yakni lemahnya kontrol terhadap penyalahgunaan kekuasaan.

Baca Juga: Poin penting dalam pasal revisi UU TNI

Berbagai kasus kekerasan, korupsi, hingga pelanggaran hak asasi manusia oleh oknum aparat menjadi catatan panjang kegagalan sistem pengawasan yang berlaku selama ini.

Menurut Bambang Rukminto, pengamat keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), struktur pengawasan internal seperti Divisi Propam dan Irwasum yang tetap berada di bawah kendali Polri tidak akan mampu bertindak objektif.

“Pengawasan yang dilakukan oleh struktur internal sangat rawan konflik kepentingan dan tidak independen,” ujarnya.

Senada dengan itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menemukan sedikitnya 12 pasal bermasalah dalam draf RUU tersebut. Empat pasal dinilai paling berisiko terhadap hak-hak sipil dan prinsip negara demokratis:

Baca Juga: Kewenangan dan Independensi Polri Terancam Jika Revisi UU Polri Dilakukan

Pasal 14 ayat (1) huruf c: Memberikan kewenangan luas kepada Polri untuk “melaksanakan tugas lain”, tanpa batasan yang jelas, membuka peluang intervensi di luar tugas pokok kepolisian.

Pasal 14 ayat (1) huruf o: Mengatur diskresi penyadapan oleh Polri tanpa pengawasan ketat, yang berpotensi mengancam kebebasan sipil dan privasi warga negara.

Pasal 16 ayat (1) huruf p: Mewajibkan penyidik dari lembaga lain seperti KPK untuk mendapatkan surat pengantar dari Polri sebelum menyerahkan berkas penyidikan ke jaksa, yang berisiko menghambat independensi lembaga penegak hukum lainnya.

Pasal 16 ayat (1) huruf q: Memberi kewenangan kepada Polri untuk melakukan pemblokiran dan perlambatan akses internet, berpotensi membungkam kritik dan membatasi kebebasan berekspresi.

Baca Juga: DPR dan Pemerintah Bahas Revisi UU TNI Tertutup di Hotel Hingga Malam

Dengan kewenangan tambahan ini, sejumlah pengamat khawatir Polri akan menjelma menjadi institusi superpower yang sulit dikontrol oleh mekanisme demokratis.

“RUU ini berpotensi membawa Polri kembali pada posisi dominan seperti era sebelum reformasi, ketika masih menjadi bagian dari ABRI dan memiliki pengaruh politik yang luas,” ujar Bambang.

Para pengkritik menegaskan, jika tujuan revisi adalah untuk memperkuat profesionalisme dan transparansi Polri, maka yang seharusnya dilakukan adalah memperkuat sistem pengawasan, baik internal maupun eksternal.

“Tanpa kontrol yang kuat, penyalahgunaan wewenang hanya akan semakin sulit diatasi,” pungkasnya.

Comment