Oleh: Rahimun M. Said
Selama dua dekade, kekuasaan di Kabupaten Bima didominasi oleh keluarga atau kelompok tertentu. Fenomena politik dinasti ini membawa dampak besar terhadap demokrasi lokal. Dalam konteks tersebut, konsep banalitas dan hiperealitas memberikan wawasan mengenai keberlanjutan serta pembentukan politik dinasti di Bima.
Banalitas dalam Politik Dinasti: Normalisasi Kekuasaan yang Terinstitusionalisasi
Banalitas dalam politik dinasti dapat dipahami melalui konsep “banal nationalism” dari Michael Billig. Dalam bukunya Banal Nationalism (1995), Billig menunjukkan bagaimana kebanggaan dan identitas politik terbentuk melalui simbol-simbol dan rutinitas yang tampak biasa, sehingga diterima sebagai sesuatu yang alami dan tak terhindarkan.
Dalam politik dinasti, banalitas muncul ketika kekuasaan yang diwarisi keluarga tertentu dianggap wajar oleh masyarakat. Mereka cenderung menerima dominasi ini tanpa mempertanyakan dampaknya terhadap kemajuan daerah.
Budaya yang mengutamakan kedekatan kekeluargaan memperkuat kecenderungan ini, memungkinkan keluarga berkuasa untuk terus muncul dalam bursa politik lokal. Di Kabupaten Bima, kekuasaan oleh keluarga tertentu yang bertahan lama dianggap sebagai hal biasa, mengurangi dorongan masyarakat untuk mencari perubahan.
Banalitas ini membuat masyarakat apatis terhadap isu-isu politik, menganggap kepemimpinan dari keluarga yang sama sebagai sesuatu yang normal. Sikap ini menjadi penghambat bagi munculnya kepemimpinan yang lebih demokratis dan beragam.
Hiperealitas dalam Politik Dinasti: Citra yang Menyimpang dari Realitas
Hiperealitas merujuk pada kondisi ketika citra yang diciptakan oleh media atau elit politik mengaburkan kenyataan sebenarnya. Konsep ini diperkenalkan oleh Jean Baudrillard dalam Simulacra and Simulation (1981), di mana perbedaan antara asli dan tiruan menjadi samar.
Dalam politik dinasti, hiperealitas terbentuk ketika keluarga berkuasa membangun citra sebagai “pemimpin ideal” melalui kampanye dan media. Mereka menggunakan media konvensional dan digital untuk memperkuat narasi bahwa hanya mereka yang mampu membawa kemajuan. Meskipun dalam kenyataannya terdapat nepotisme dan korupsi yang menghambat pembangunan, citra positif tetap mendominasi persepsi publik.
Hiperealitas ini menghalangi demokrasi yang sehat, karena masyarakat terjebak dalam gambaran ideal yang diciptakan, sementara kritik atau ketidakpuasan terhadap penguasa sering kali diabaikan atau ditekan.
Dampak terhadap Demokrasi dan Kesejahteraan
Baudrillard dan Billig menunjukkan bagaimana politik dinasti dapat mengikis demokrasi yang sejati. Dalam sistem ini, representasi masyarakat terancam oleh nepotisme dan oligarki. Ketika satu keluarga terus berkuasa, partisipasi politik terbatas, oposisi ditekan, dan kebijakan lebih dipengaruhi oleh kepentingan kelompok tertentu.
Secara ekonomi, politik dinasti cenderung merugikan masyarakat luas karena pembangunan tidak merata, dengan keuntungan yang lebih condong ke pihak berkuasa. Ketimpangan sosial meningkat, memperburuk kemiskinan struktural.
Solusi dan Langkah ke Depan
Mengatasi banalitas dan hiperealitas politik dinasti memerlukan pendidikan politik dan akses informasi yang transparan. Menurut Robert Dahl dalam Democracy and Its Critics (1989), demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi rakyat yang informatif. Masyarakat Bima perlu didorong untuk lebih kritis terhadap politik dinasti dan lebih mengandalkan indikator-indikator pembangunan yang nyata.
Selain itu, penguatan lembaga sipil, akuntabilitas, dan transparansi pemilu penting untuk memutus pola politik dinasti yang mengakar. Hanya dengan demikian, politik bisa menjadi sarana yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat banyak, bukan hanya alat kekuasaan bagi segelintir pihak.
Comment