Konflik Tupoksi di Dunia Kerja: Masalah Sistemik yang Sering Diabaikan

Tuberkulosis (TB) tetap menjadi ancaman kesehatan global, dengan Indonesia sebagai salah satu negara dengan beban TB tertinggi di dunia.

Penulis : Hariyanto Mahasiswa Program Pascasarjana, FKM, UNHAS. (Foto: Netral.co.id/F.R)

Oleh Hariyanto (Mahasiswa Pascasarjana FKM Unhas)

Netral.co.id – Dalam dinamika organisasi modern, konflik di tempat kerja kerap kali bersumber dari hal yang terlihat sederhana: ketidakjelasan tugas pokok dan fungsi (tupoksi). Meski terdengar administratif, persoalan ini bersifat struktural dan berdampak langsung pada performa tim, kohesi kerja, dan produktivitas lembaga.

Studi yang dimuat dalam Harvard Business Review (2019) menunjukkan bahwa tim tanpa pembagian peran yang tegas dua kali lebih rentan mengalami konflik dibanding tim yang memiliki kejelasan struktur kerja. Ketika batas kewenangan kabur siapa bertanggung jawab atas apa maka gesekan tak terhindarkan.

Tupoksi: Bukan Sekadar Dokumen Formalitas

Masih banyak institusi memandang tupoksi sebatas dokumen pelengkap awal tahun anggaran. Setelah disusun, ia kerap terlupakan tanpa evaluasi atau penyesuaian. Padahal, dinamika seperti perubahan struktur organisasi, rotasi pegawai, atau meningkatnya beban kerja menuntut peninjauan ulang terhadap tupoksi agar tidak terjadi kekosongan tanggung jawab atau tumpang tindih kewenangan.

Robbins dan Judge (2022) menegaskan bahwa struktur kerja yang tidak responsif terhadap perubahan internal dapat memicu disfungsi koordinasi dan menghambat kinerja lintas unit.

Peran Pemimpin dalam Mengurai Friksi

Konflik peran kerap memuncak saat dua pihak merasa sama-sama berhak dan justru sama-sama enggan menyelesaikan suatu tugas. Di sinilah kepemimpinan memainkan peran penting. Model kepemimpinan transformatif seperti dijelaskan oleh Bass & Avolio (1994), menekankan pentingnya komunikasi dua arah, kejelasan visi, serta ketegasan dalam distribusi peran.

Pemimpin ideal tak hanya memberi arahan, tapi juga menjadi fasilitator penyelesaian konflik. Dialog terbuka, klarifikasi peran, hingga penyamaan persepsi harus dilakukan secara transparan dan tanpa bias.

Evaluasi Tupoksi: Lebih dari Sekadar Revisi Teks

Evaluasi tupoksi seharusnya menjadi proses strategis. Ia mencakup analisis beban kerja, relevansi tugas dengan kondisi faktual, dan distribusi tanggung jawab. Jika tidak, rasa ketidakadilan dan ketidakseimbangan beban kerja bisa menjadi akar konflik yang tersembunyi namun kronis.

Model manajemen proyek seperti RACI (Responsible, Accountable, Consulted, Informed) dapat dijadikan acuan. Dalam model ini, meski pekerjaan bersifat kolaboratif, tetap harus jelas siapa yang memegang tanggung jawab akhir. Tanpa itu, fleksibilitas justru berbalik menjadi sumber friksi.

Membangun Budaya Kerja Profesional

Konflik tupoksi kerap dipicu oleh ego sektoral, senioritas, atau kedekatan personal yang mengalahkan prinsip profesionalisme. Di sinilah pentingnya membangun budaya kerja berbasis tanggung jawab, bukan klaim kewenangan. Posisi atau jabatan tak seharusnya menjadi dasar legitimasi eksklusif terhadap suatu tugas. Sebaliknya, peran harus didefinisikan secara objektif dan meritokratis.

Selain itu, organisasi perlu menyediakan ruang penyelesaian konflik yang sistematis. Bukan sekadar pendekatan ad hoc, melainkan forum formal seperti ruang klarifikasi internal dan mekanisme mediasi yang adil dan berfungsi.

Menata Ulang Tupoksi, Menguatkan Fondasi Organisasi

Mengurai konflik tupoksi sejatinya adalah investasi organisasi dalam membangun tata kelola yang sehat. Ketika tiap individu memahami tanggung jawabnya dan menghargai peran orang lain, kolaborasi yang sehat dapat tumbuh. Ini bukan sekadar soal siapa mengerjakan apa, melainkan tentang bagaimana organisasi bergerak bersama tanpa saling menghambat. Kejelasan tupoksi bukan hanya peta kerja, tapi juga fondasi integritas dan efisiensi organisasi.

Comment