Jakarta, Netral.co.id – Kualitas udara di DKI Jakarta kembali menjadi sorotan dunia. Berdasarkan pemantauan situs kualitas udara global IQAir, Senin 2 Juni 2025, indeks kualitas udara (Air Quality Index/AQI) Jakarta tercatat di angka 140, yang dikategorikan tidak sehat bagi kelompok sensitif.
Dengan angka tersebut, Jakarta menempati posisi kelima sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Di atasnya, tercatat Addis Ababa (Ethiopia) dengan AQI 164, Dhaka (Bangladesh) 160, dan Kinshasa (Kongo) 156.
Menanggapi kondisi tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) mengajak masyarakat turut berkontribusi dalam mengurangi polusi udara, khususnya emisi dari sektor transportasi.
“Kami mengajak warga dan para komuter untuk mulai membiasakan mobilitas yang ramah lingkungan, seperti menggunakan transportasi umum, berjalan kaki, atau bersepeda,” ujar Kepala DLH DKI Jakarta, Asep Kuswanto, Minggu 1 Juni 2025.
Upaya ini dikemas dalam kampanye #GerakLebihBersih yang berlangsung 7–20 Juni 2025, bertepatan dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Program ini merupakan hasil kolaborasi antara Pemprov DKI Jakarta, Clean Air Asia (CAA), dan Breathe Jakarta.
Baca Juga : Komnas Perempuan Angkat Bicara Soal Pergub Poligami DKI Jakarta
Kampanye ini juga diperkuat melalui Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 2025 tentang kewajiban penggunaan angkutan umum massal oleh ASN setiap hari Rabu.
Warga yang ingin berpartisipasi dapat mendaftar melalui laman udarakitabersih.id, dengan mengisi formulir harian terkait moda transportasi, jenis bahan bakar, dan jarak tempuh. Bukti perjalanan seperti tangkapan layar aplikasi peta atau foto perjalanan juga wajib dilampirkan.
Pada gelaran Hari Bebas Kendaraan Bermotor (Car Free Day), Minggu 1 Juni 2025, sekelompok aktivis menggelar aksi simbolik yang menarik perhatian di kawasan Bundaran HI.
Sebuah gelembung transparan raksasa ditempatkan di tengah area, menggambarkan keterasingan pengambil kebijakan dari realitas polusi udara.
Seorang perempuan berpakaian rapi berada di dalam gelembung tanpa masker, sementara para aktivis di luar gelembung mengenakan masker hitam dan membawa poster bertuliskan:
“Kok gelap? Itu mendung atau asap?”
“Polusi udara turunkan kemampuan belajar siswa.”
Menurut Irfan Toni dari organisasi 350.org, gelembung tersebut melambangkan bagaimana pemegang kebijakan hidup dalam “ruang steril” yang terputus dari dampak langsung polusi.
“Pemangku kepentingan seperti hidup dalam gelembung mereka sendiri. Menolak solusi energi bersih dan berkelanjutan,” katanya.
Aksi ini diikuti oleh sejumlah kelompok sipil seperti Koalisi Pejalan Kaki (Kopeka), Clean Mobility Collective Southeast Asia (CMCSEA), 350 Pilipinas, Yayasan Udara Anak Bangsa (Bicara Udara), dan Car Free Day Indonesia.
Mereka menegaskan bahwa udara bersih adalah hak dasar warga negara dan mendesak pemerintah untuk melakukan langkah konkret, bukan sekadar kampanye seremonial.
“Perbaikan kualitas udara yang terjadi pada April lalu lebih disebabkan fenomena alam seperti La Niña, bukan karena upaya kebijakan yang nyata,” ujar salah satu perwakilan aksi.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pengendalian polusi tidak bisa bergantung pada cuaca atau momen tahunan semata. Diperlukan sinergi antara kebijakan pemerintah, partisipasi publik, dan keberanian beralih ke energi bersih.
Sebagaimana ditegaskan para aktivis, udara bersih adalah bagian dari hak konstitusional masyarakat, bukan kemewahan atau sekadar retorika pembangunan.
“Indonesia tidak hanya butuh kota yang berkembang secara ekonomi, tapi juga layak huni bagi kesehatan generasi masa depan,” pungkasnya.
Comment