Teheran, Netral.co.id – Parlemen Republik Islam Iran menyetujui rencana penutupan Selat Hormuz bagi seluruh aktivitas pelayaran internasional sebagai respons atas serangan udara Amerika Serikat terhadap tiga fasilitas nuklir Iran, yakni Fordow, Natanz, dan Isfahan.
“Parlemen telah mencapai kesimpulan bahwa Selat Hormuz harus ditutup,” ujar anggota Komisi Keamanan Nasional Parlemen Iran, Mayor Jenderal Esmaeli Kowsari, dikutip dari siaran televisi Iran, Press TV, Minggu (23/6/2025).
Baca Juga: TNI AU Siapkan Hercules dan Boeing untuk Evakuasi WNI dari Iran dan Israel
Namun, keputusan final tetap berada di tangan Dewan Keamanan Tertinggi Nasional Iran, lembaga tertinggi yang mengatur kebijakan strategis pertahanan negara tersebut.
Langkah ini diambil setelah militer AS meluncurkan serangan udara pada Minggu pagi, menyusul eskalasi konflik antara Iran dan Israel yang dimulai sejak 13 Juni. Serangan balasan dari Iran juga telah menimbulkan korban di pihak Israel.
Data dari otoritas Israel menyebutkan sedikitnya 25 warganya tewas dan ratusan lainnya luka-luka akibat rudal Iran. Sementara Kementerian Kesehatan Iran melaporkan sebanyak 430 warga meninggal dunia dan lebih dari 3.500 lainnya terluka akibat serangan balasan Israel.
Selat Hormuz dan Lonjakan Harga Minyak
Penutupan Selat Hormuz, jalur vital yang dilalui sekitar 20 persen pasokan minyak dunia, dikhawatirkan memicu disrupsi besar terhadap pasar energi global.
Pakar ekonomi dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengatakan konflik tersebut dapat menjadi pemicu lonjakan harga minyak global yang sangat drastis.
“Hanya satu rudal nyasar di Selat Hormuz bisa menyebabkan gangguan energi global senilai triliunan dolar,” ujarnya, Senin (23/6/2025).
Achmad mencatat, sejak kabar serangan udara AS dikonfirmasi, harga minyak dunia langsung melonjak tajam. Harga minyak mentah naik dari USD78 menjadi USD80 per barel, dan diprediksi dapat mencapai USD110 per barel jika ketegangan terus berlanjut. Bahkan, jika Iran benar-benar memblokir Selat Hormuz, harga bisa menembus USD150 hingga USD170 per barel.
Ancaman Inflasi dan Resesi Global
Achmad juga memperingatkan dampak lanjutan dari konflik ini, seperti inflasi global, membengkaknya biaya logistik, serta tekanan fiskal terhadap negara-negara berkembang.
Baca Juga: Pemimpin Dunia Islam Angkat Suara Terkait Perang Iran dan Israel
“Negara pengimpor energi seperti Indonesia akan sangat terpukul. Pemerintah dihadapkan pada dua pilihan sulit: menaikkan harga BBM atau menambah subsidi, yang keduanya berisiko memperlebar defisit anggaran,” ujarnya.
Ia menilai krisis ini bisa menjadi ancaman serius bagi upaya pemulihan ekonomi global, yang saat ini masih menghadapi tekanan akibat pandemi dan krisis pangan dunia.
Comment