Jakarta, Netral.co.id – Kasus pagar laut Tangerang, Banten, yang sempat mencuat karena dampaknya terhadap nelayan setempat, hingga kini masih dalam proses penyelidikan oleh aparat penegak hukum (APH).
Pakar Hukum Tata Negara, Mahfud MD, mengingatkan bahwa Kejaksaan Agung (Kejagung) telah mengembalikan berkas perkara ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri pada 24 Maret 2025, dengan batas waktu 14 hari untuk mengalihkan fokus penyidikan dari sekadar pemalsuan dokumen menjadi kasus korupsi yang melibatkan lebih banyak pihak.
Hingga Selasa, 8 April 2025, tenggat waktu tersebut telah lewat, namun perkembangan terbaru menunjukkan proses hukum masih berlangsung.
Kasus ini berawal dari pemasangan pagar bambu ilegal sepanjang 30,16 kilometer di perairan Kabupaten Tangerang, yang mengganggu aktivitas nelayan dan memicu kerugian ekonomi signifikan, diperkirakan mencapai Rp24 miliar sejak Agustus 2024.
Awalnya, penyidikan oleh Bareskrim Polri menargetkan Kepala Desa Kohod, Arsin, bersama tiga tersangka lainnya Sekretaris Desa Kohod, Ujang Karta, serta dua penerima kuasa, Septian Prasetyo dan Candra Eka atas dugaan pemalsuan dokumen untuk penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM).
Baca Juga : Pagar Lautan Ternyata Punya Ijin Dari Pemerintah
Sebanyak 263 SHGB dan 17 SHM telah diterbitkan, sebagian besar atas nama PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa, serta beberapa individu.
Namun, Kejagung menilai kasus ini tidak sekadar pemalsuan. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, pada 25 Maret 2025 lalu menyampaikan analisis jaksa menunjukkan indikasi kuat adanya tindak pidana korupsi, seperti gratifikasi, suap, dan penyalahgunaan wewenang, yang menyebabkan kerugian negara dan perekonomian.
Oleh karena itu, berkas dikembalikan ke Bareskrim dengan instruksi untuk mendalami aspek korupsi dalam waktu 14 hari, yang berakhir pada 7 April 2025.
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari Bareskrim Polri terkait hasil penyidikan lanjutan pasca-tenggat waktu tersebut.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim, Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro, sebelumnya mengungkapkan bahwa timnya telah memeriksa 34 saksi dan menyita barang bukti, termasuk dokumen girik palsu dan peralatan seperti printer serta stempel dari kantor Desa Kohod.
Baca Juga : Mengenal Polemik Kekayaan dan Pagar Laut Kepala Desa Arsin
Penyidik juga telah melakukan penggeledahan di rumah Arsin dan kantor desa pada Februari 2025, serta menetapkan keempat tersangka yang kini ditahan sejak 24 Februari 2025.
Sementara itu, pembongkaran fisik pagar laut telah dilakukan oleh TNI Angkatan Laut bersama Polri dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada Januari 2025 atas perintah Presiden Prabowo Subianto. Meski demikian, kompensasi bagi nelayan yang terdampak belum jelas realisasinya.
KKP juga telah memeriksa Arsin dan 13 nelayan untuk menegakkan sanksi administratif berdasarkan regulasi kelautan, namun fokus hukum kini beralih pada dugaan korupsi.
Pakar dari Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, mendukung langkah Kejagung dan mendorong KPK atau Kejagung mengambil alih jika Bareskrim tidak memperluas penyidikan ke aktor-aktor besar di balik penerbitan sertifikat ilegal.
Ia menilai kasus ini telah “dilokalisir” pada level bawah seperti Arsin, sementara dalang utama, termasuk pejabat tinggi dan pengusaha, belum tersentuh.
Hingga berita ini ditulis, nasib kasus pagar laut Tangerang masih bergantung pada langkah lanjutan Bareskrim Polri dalam menindaklanjuti petunjuk Kejagung.
Publik, khususnya nelayan dan warga terdampak, menantikan kejelasan hukum serta pengusutan menyeluruh hingga ke akar permasalahan, sebagaimana diharapkan Mahfud MD, agar kasus ini tidak berhenti pada pelaku lapangan semata.
Comment