Menelusuri Mak Co dan Akar Spiritual dan Budaya Komunitas Tionghoa di Makassar

Di tengah keberagaman kepercayaan dan tradisi di Kota Makassar, terdapat satu bentuk penghormatan spiritual yang telah melekat kuat dalam kehidupan komunitas Tionghoa, yakni pemujaan terhadap Mak Co atau Mazu, Dewi Laut dalam kepercayaan Tionghoa tradisional.

Bentuk penghormatan spiritual yang telah melekat kuat dalam kehidupan komunitas Tionghoa. (Foto: dok)

Makassar, Netral.co.id – Di tengah keberagaman kepercayaan dan tradisi di Kota Makassar, terdapat satu bentuk penghormatan spiritual yang telah melekat kuat dalam kehidupan komunitas Tionghoa, yakni pemujaan terhadap Mak Co atau Mazu, Dewi Laut dalam kepercayaan Tionghoa tradisional.

Meski dalam ajaran agama Buddha istilah “Maco” atau “Mak Co” tidak dikenal sebagai bagian dari doktrin resmi, namun dalam praktik keagamaan masyarakat Tionghoa, nama ini sangat akrab.

Mak Co adalah sebutan lokal untuk Tian Shang Sheng Mu, yang lebih dikenal secara internasional dengan nama Mazu — seorang dewi laut yang diyakini melindungi para pelaut dan nelayan dari bahaya di laut.

Blaca Juga:Intip Kekayaan dan Profil Tjhai Chui Mie, Wali Kota Perempuan Berdarah Tionghoa

Dewi Mazu berasal dari Fujian, Tiongkok, dan kisahnya berakar dari seorang perempuan bernama Lin Moniang yang hidup pada abad ke-10.

Ia dikenal memiliki kekuatan spiritual, mampu meramalkan cuaca, dan menyelamatkan pelaut dari badai. Setelah wafat, masyarakat Tionghoa mulai memujanya sebagai dewi pelindung laut.

Sebaran pemujaan terhadap Dewi Mazu berkembang mengikuti jejak diaspora Tionghoa, termasuk hingga ke Indonesia.

Di Makassar, Dewi ini dikenal dengan sebutan Mak Co, dan tempat pemujaannya biasanya ditemukan di klenteng-klenteng tua seperti Klenteng Ibu Agung Bahari atau klenteng lainnya yang berdiri sejak masa perdagangan maritim antara Tiongkok dan Nusantara.

Bagi masyarakat Tionghoa Makassar, pemujaan kepada Mak Co bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi juga bagian dari identitas budaya dan spiritual.

Setiap tahun, peringatan hari lahir Dewi Mak Co diperingati dengan ritual besar, arak-arakan, hingga pertunjukan barongsai. Selain sebagai bentuk penghormatan, acara ini juga memperkuat solidaritas antaranggota komunitas.

Ketua Yayasan Klenteng Bahari Makassar, Tan Su Lie, menjelaskan bahwa penghormatan kepada Mak Co bukanlah praktik eksklusif agama, melainkan tradisi lintas generasi.

“Banyak yang mengira ini bagian dari Buddhisme, padahal sebenarnya ini lebih erat dengan ajaran Tao dan kepercayaan tradisional Tiongkok. Namun tetap kami integrasikan dalam semangat toleransi dan keharmonisan,” ujarnya.

Keberadaan Mak Co di Makassar juga mencerminkan akulturasi budaya antara etnis Tionghoa dan masyarakat Bugis-Makassar.

Tak sedikit warga non-Tionghoa yang ikut menyaksikan atau bahkan terlibat dalam prosesi keagamaan dan budaya yang berkaitan dengan perayaan Mak Co.

Baca Juga:Duet Andi Seto Asapa-Rezki Mulfiati Lutfi Hadir di Tengah Persaudaraan Tionghoa Makassar

Ini menunjukkan nilai inklusivitas yang melekat dalam praktik keagamaan tersebut.

Pakar budaya Tionghoa dari Universitas Hasanuddin, Dr. Liem Kian Joe, menyebut bahwa pemujaan terhadap Dewi Mak Co adalah bentuk spiritualitas yang mencerminkan hubungan erat antara manusia dan alam.

“Dalam konteks maritim, dewi ini merepresentasikan perlindungan terhadap alam dan keseimbangan hidup. Ini yang membuatnya tetap relevan hingga kini,” jelasnya.

Di tengah arus globalisasi dan dinamika keagamaan modern, eksistensi Mak Co sebagai simbol spiritual masyarakat Tionghoa di Makassar tetap bertahan.

Hal ini menjadi cerminan dari wajah pluralisme Indonesia, di mana nilai-nilai luhur dari berbagai budaya dan kepercayaan bisa hidup berdampingan secara damai.

Comment