Beijing, Netral.co.id – Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, melakukan kunjungan kerja ke Tiongkok pada 20–22 Mei 2025 guna memperkuat kerja sama ekonomi strategis. Salah satu agenda utama dalam lawatan tersebut adalah memperkenalkan potensi Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) kepada sejumlah pemangku kepentingan di Negeri Tirai Bambu.
Dalam pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi, Luhut menekankan bahwa Danantara merupakan hasil konsolidasi aset-aset BUMN Indonesia untuk dikelola secara profesional dan transparan. Ia juga mengusulkan pembentukan dana kekayaan negara bersama (Joint Sovereign Wealth Fund), yang memungkinkan Indonesia dan Tiongkok menyuntikkan dana secara proporsional guna mendukung proyek-proyek strategis.
“Danantara mengelola aset mendekati 1 triliun dolar AS. Saya ajukan ide agar Indonesia dan Tiongkok masing-masing mengalokasikan dana, misalnya 1 miliar dolar AS, untuk membentuk kemitraan investasi jangka panjang,” ujar Luhut di Beijing, Kamis (22/5/2025).
Turut mendampingi Luhut dalam kunjungan tersebut adalah Wakil Ketua DEN Mari Elka Pangestu, Direktur Eksekutif DEN Mochammad Firman Hidayat, Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono, Wakil Menteri Investasi Todotua Pasaribu, Chief Information Officer Danantara Pandu Sjahrir, serta sejumlah pejabat lainnya.
Baca Juga: Merasa Cape Urus Indonesia, Rakyat Minta Luhut Mudur
Delegasi Indonesia juga melakukan diskusi dengan lembaga-lembaga strategis Tiongkok, termasuk Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (NDRC), China Investment Corporation (CIC), Industrial and Commercial Bank of China (ICBC), State Development and Investment Corporation (SDIC), dan Bank of China (BOC).
Sejak diluncurkan pada 24 Februari 2025, Danantara mengelola aset sebesar 900 miliar dolar AS atau sekitar Rp14.000 triliun, dengan pendanaan awal sebesar 20 miliar dolar AS (sekitar Rp326 triliun). Fokus investasinya mencakup sektor hilirisasi mineral (nikel, bauksit, tembaga), pengembangan pusat data, kecerdasan buatan, kilang minyak, industri petrokimia, pangan dan protein, serta energi terbarukan.
Luhut menyatakan bahwa Tiongkok masih melihat Indonesia sebagai mitra investasi potensial, terutama dalam penyediaan mineral kritis. Ia juga membuka peluang kerja sama serupa dengan negara lain seperti Amerika Serikat dan Uni Emirat Arab.
“Saya sampaikan, tidak perlu saling bersaing secara destruktif. Kita bisa kerja sama untuk kebutuhan dunia,” katanya.
Diskusi juga mencakup potensi pengembangan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS). Teknologi ini dinilai penting untuk mengurangi emisi karbon, dengan potensi penyimpanan karbon Indonesia yang mencapai 600 giga ton.
“Kita punya potensi besar untuk menyimpan karbon di bawah tanah dan mendukung pencapaian target net zero emission pada 2050,” tambah Luhut.
Comment