LPEI Jadi Lumbung Korupsi? Kredit Macet, Uang Zakat, dan Skandal Ekspor Fiktif

Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank tengah disorot tajam setelah sederet skandal korupsi dan kredit macet mencuat ke publik.

Kantor Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. (Foto: dok LPEI)

Jakarta, Netral.co.idLembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank tengah disorot tajam setelah sederet skandal korupsi dan kredit macet mencuat ke publik.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya penyalahgunaan fasilitas kredit oleh 11 debitur yang diduga merugikan negara hingga Rp11,7 triliun.

Sejak 2024, KPK telah menetapkan 12 tersangka dalam perkara yang menyeret petinggi LPEI dan sejumlah pelaku usaha.

Baca Juga: KPK Periksa Eks Direksi LPEI, Ungkap Skema Kredit Fiktif Bernilai Triliunan

Pada Maret 2025, lembaga antirasuah membongkar kongkalikong antara seorang direktur LPEI dengan pejabat PT Petro Energy, termasuk temuan penggunaan istilah “uang zakat” sebagai kode suap.

Nilai suap tersebut diperkirakan berkisar 2,5–5 persen dari total kredit yang dicairkan. Dari satu kasus saja, kerugian negara mencapai US\$60 juta atau sekitar Rp988 miliar.

Namun hingga kini, belum semua tersangka ditahan, termasuk mantan pejabat kunci di tubuh LPEI.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menyebut kerugian negara dalam kasus LPEI bisa jauh lebih besar dari angka resmi KPK.

“Kasus LPEI tidak hanya ditangani oleh KPK, tapi juga Kejaksaan Agung, Bareskrim Polri, dan sudah masuk ke pengadilan Tipikor,” ujar Boyamin, Sabtu (26/4/2025).

Baca Juga: Skandal Korupsi Minyak Mentah: Negara Rugi Rp193,7 Triliun, Tujuh Pejabat Jadi Tersangka

Menurutnya, persoalan di LPEI bukan hanya korupsi, tapi juga cacat dalam sistem tata kelola. Sejak masih bernama Bank Exim, lembaga ini sudah sering mengalami kerugian hingga harus direstrukturisasi. Sayangnya, setelah bertransformasi menjadi LPEI, kebobrokan tetap berlanjut.

“Banyak kredit diberikan tanpa analisa kelayakan yang memadai. Ketika kredit macet, malah ditambah dengan dalih membantu kelancaran usaha. Akibatnya, utang makin besar, tapi tetap gagal bayar,” tegas Boyamin.

Lebih dari itu, ia menyoroti keterlibatan ‘orang dalam’ dalam praktik korupsi berjamaah di LPEI. Mulai dari pembiayaan ekspor fiktif hingga pemberian dokumen palsu untuk melegalkan ekspor ilegal.

“Pernah ada kasus ekspor kopi, di dokumen disebut sudah dikirim, tapi setelah dicek barangnya tidak ada. Begitu juga tambang ilegal yang difasilitasi dengan ‘dokumen terbang’. Eksportirnya dapat pembayaran, tapi tidak dipakai untuk bayar kredit,” bebernya.

Melihat kompleksitas kasus dan kelemahan sistemik, Boyamin mendorong pemerintah membentuk bank ekspor-impor yang tunduk pada aturan perbankan umum dan memiliki sistem pengawasan ketat.

“Kalau tidak ada perubahan struktural, LPEI akan terus menjadi tempat empuk bagi bancakan elite,” tandasnya.

Comment