Hasto Kristiyanto Ditahan KPK, Imbas Dari Kebijakan PDIP

Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bermula dari polemik penetapan calon anggota legislatif

Hasto Krostiyanto Sekjen PDIP (foto:dok)

Jakarta, Netral.co.id – Kasus yang menyeret Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bermula dari polemik penetapan calon anggota legislatif (caleg) PDIP untuk Pemilihan Umum (Pemilu) DPR 2019 di Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan I.

Awal Mula Kasus

Pada 20 September 2018, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPR dari PDIP untuk Dapil Sumsel I, meliputi wilayah Palembang, Lubuklinggau, Banyuasin, Musi Rawas, dan Musi Rawas Utara.

Terdapat delapan caleg, termasuk Nazarudin Kiemas yang kemudian menjadi pusat polemik.

Namun, pada 26 Maret 2019, Nazarudin Kiemas meninggal dunia sebelum pelaksanaan Pemilu.

KPU kemudian meminta klarifikasi dari PDIP, yang mengonfirmasi kabar tersebut melalui surat DPP PDIP Nomor 2334/EX/DPP/IV/2019 tertanggal 11 April 2019.

Berdasarkan klarifikasi ini, KPU mencoret nama Nazarudin dari DCT melalui Keputusan Nomor 896/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IV/2019.

Polemik Pergantian Antar Waktu (PAW)

Meskipun telah dicoret, Nazarudin Kiemas sempat mengumpulkan 34.276 suara sebelum wafat. Dalam situasi ini, semestinya kursi DPR tersebut otomatis diberikan kepada caleg PDIP dengan suara terbanyak kedua, yakni Riezky Aprilia.

Namun, DPP PDIP melalui rapat pleno pada Juli 2019 justru memutuskan mengusulkan Harun Masiku caleg yang menempati posisi keenam sebagai pengganti Nazarudin melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW).

Keputusan ini ditandatangani dan diajukan ke KPU oleh Hasto Kristiyanto selaku Sekjen PDIP.

PDIP berupaya melobi KPU untuk melantik Harun Masiku, bahkan mengajukan fatwa ke Mahkamah Agung (MA) demi memperkuat argumen hukum mereka.

Namun, KPU menolak permintaan tersebut dan bersikeras melantik Riezky Aprilia sesuai aturan yang berlaku.

Lobi dan Dugaan Suap

Tak menyerah, Harun Masiku bersama sejumlah pihak mencoba pendekatan nonformal dengan melobi salah satu komisioner KPU, Wahyu Setiawan. Wahyu akhirnya menyanggupi permintaan Harun dengan imbalan uang sebesar Rp900 juta.

Pada Januari 2020, Harun melalui staf DPP PDIP, Saeful Bahri, menyerahkan uang Rp850 juta kepada Wahyu Setiawan melalui perantara anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina. Pertemuan ini berlangsung di sebuah restoran di Mall Pejaten Village, Jakarta.

Namun, sebelum dana suap sepenuhnya ditransfer, KPK berhasil melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada 8 Januari 2020. Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelina ditangkap beserta barang bukti uang tunai sebesar SGD38.350.

Peran Hasto Kristiyanto

Hasto Kristiyanto disebut terlibat dalam mengatur skema PAW bermasalah ini. Ia memerintahkan tim hukum PDIP untuk mengajukan permohonan ke KPU, serta mengoordinasikan upaya lobi terhadap komisioner KPU.

Berdasarkan temuan KPK, Hasto diduga mengetahui dan mengatur proses lobi tersebut, menjadikannya salah satu pihak yang bertanggung jawab dalam kasus ini.

Penyelidikan KPK akhirnya menetapkan Hasto sebagai tersangka dan menahannya untuk proses hukum lebih lanjut.

Dampak dan Respons

Kasus ini memicu kritik luas terhadap PDIP dan sistem politik di Indonesia. Banyak pihak menilai praktik lobi dan suap dalam pergantian antar waktu mencederai prinsip demokrasi dan transparansi.

PDIP sendiri menyatakan akan menghormati proses hukum yang berlangsung di KPK dan menyerahkan sepenuhnya kasus ini kepada aparat penegak hukum.

Comment