Ditangan Prof Zudan BKN Permudah Pencantuman Gelar Akademik ASN

Melalui Surat Kepala BKN Nomor 3 Tahun 2025, ASN kini lebih mudah mencantumkan gelar akademik atau vokasi yang diperoleh secara resmi.

Prof Zudan Arif Fakrulloh Badan Kepegawaian Negara (BKN). (foto:BKNgoid)

Jakarta, Netral.co.id – Ditangan Prof Zudan Arif Fakrulloh Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengeluarkan kebijakan baru terkait pencantuman gelar bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang meningkatkan pendidikannya.

Melalui Surat Kepala BKN Nomor 3 Tahun 2025, ASN kini lebih mudah mencantumkan gelar akademik atau vokasi yang diperoleh secara resmi.

Kepala BKN, Prof. Zudan, menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan karier ASN secara lebih efektif dan efisien.

Proses pencantuman gelar kini dilakukan melalui Sistem Informasi Aparatur Sipil Negara (SIASN), yang memungkinkan setiap pegawai mengajukan pencantuman secara daring.

Namun, di balik kemudahan ini, ada sejumlah pertanyaan yang muncul:

Apakah kebijakan ini hanya sebatas pencantuman gelar atau ada dampak nyata terhadap karier ASN?

Bagaimana pengawasan terhadap ijazah yang diperoleh, mengingat maraknya kasus ijazah palsu atau kampus tidak terakreditasi?

Apakah ada insentif khusus bagi ASN yang meningkatkan pendidikannya, selain sekadar perubahan administrasi?

Dari satu sisi, kebijakan ini memang memudahkan ASN dalam mengakui pencapaian akademiknya secara resmi, terutama bagi mereka yang telah menempuh pendidikan lanjutan.

Namun, tanpa insentif yang jelas seperti kenaikan pangkat, tunjangan, atau akses ke posisi lebih strategis pencantuman gelar bisa saja hanya menjadi formalitas administratif yang tidak berdampak signifikan pada pengembangan karier ASN.

Selain itu, regulasi ini tetap mengacu pada aturan sebelumnya, seperti UU 20/2023, Peraturan Kepala BKN 33/2011, dan Peraturan Menristekdikti 53/2023.

Artinya, tidak ada perubahan mendasar dalam sistem penghargaan bagi ASN yang berpendidikan lebih tinggi.

BKN menekankan bahwa pencantuman gelar harus sesuai ketentuan perundang-undangan. Namun, dengan maraknya kasus ijazah palsu atau kampus abal-abal, apakah SIASN memiliki mekanisme validasi yang ketat untuk memastikan keabsahan ijazah yang diusulkan?

Jika sistem pengawasan tidak diperketat, ada risiko pencantuman gelar ini justru menjadi celah bagi oknum ASN yang ingin mendapatkan pengakuan akademik secara instan tanpa kompetensi yang memadai.

Penerapan kebijakan ini memang memudahkan ASN dalam mengurus administrasi gelar, tetapi efektivitasnya dalam meningkatkan kualitas ASN masih perlu dievaluasi lebih lanjut.

Tanpa adanya insentif yang jelas dan pengawasan yang ketat, kebijakan ini bisa saja hanya menjadi regulasi baru tanpa dampak nyata bagi peningkatan profesionalisme ASN di Indonesia.

Comment