Oleh: Wahyudin, Ketua Umum Terpilih HMI Cabang Sumbawa.
Netral.co.id – Penetapan Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bima sebagai tersangka karena mengikuti aksi damai menuntut pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa bukan sekadar langkah hukum. Ia adalah alarm keras bahwa demokrasi di negeri ini sedang mengalami penyempitan ruang, bahkan ancaman pembusukan dari dalam.
Bagaimana mungkin, di negara yang mengklaim dirinya demokratis, aksi damai dianggap sebagai tindak pidana? Apa kabar pasal 28E UUD 1945 yang menjamin setiap orang bebas menyatakan pendapat di muka umum? Ataukah konstitusi kini hanya sekadar hiasan di dinding institusi?
Tindakan aparat menetapkan mahasiswa sebagai tersangka karena menyampaikan aspirasi publik adalah bentuk kriminalisasi yang telanjang. Ini bukan peristiwa tunggal. Ini adalah pola pola sistematis yang menggambarkan betapa gerakan rakyat, khususnya mahasiswa, kian dianggap sebagai ancaman, bukan mitra dalam demokrasi.
Aparat yang seharusnya menjadi pengayom, kini justru berubah peran menjadi penindas. Demonstrasi diperlakukan seperti makar. Orasi dicurigai seperti konspirasi. Aktivisme dilabeli subversif. Inilah wajah baru otoritarianisme: berbaju hukum, bersenjata prosedur, namun berwatak represif.
Padahal, mahasiswa bukan sekadar pelajar kampus. Mereka adalah agen moral yang telah lama menjadi penjaga demokrasi ketika sistem gagal. Dari 1998 hingga kini, sejarah mencatat: ketika rakyat dibungkam, mahasiswa berdiri paling depan. Menyerang mereka sama saja dengan mematikan denyut nadi kebebasan itu sendiri.
Kita perlu menyadari bahwa membungkam satu suara mahasiswa bukan solusi. Itu justru memancing ribuan suara lainnya. Dan dalam sejarah republik ini, suara-suara itu tidak pernah berhenti hanya karena ancaman jeruji.
Hari ini, satu mahasiswa dijadikan tersangka karena bersuara. Besok, siapa yang akan dibungkam? Apakah giliran kita?
Negara ini bukan milik segelintir elite yang alergi kritik. Ia milik rakyat, termasuk mahasiswa yang menyuarakan kebenaran. Jika aparat terus menekan gerakan sipil, maka kita harus bersiap menghadapi demokrasi yang hanya tinggal nama tanpa nyawa, tanpa suara.
Comment