Urgensi Kebijakan Komprehensif untuk Pengendalian Tuberkulosis pada Jemaah Haji

Tuberkulosis (TB) tetap menjadi ancaman kesehatan global, dengan Indonesia sebagai salah satu negara dengan beban TB tertinggi di dunia.

Penulis : Hariyanto Mahasiswa Program Pascasarjana, FKM, UNHAS. (Foto: Netral.co.id/F.R)

Penulis : Hariyanto
Mahasiswa Program Pascasarjana, FKM, UNHAS

Tuberkulosis (TB) tetap menjadi ancaman kesehatan global, dengan Indonesia sebagai salah satu negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Dalam konteks ibadah haji, risiko penularan TB meningkat signifikan akibat kepadatan massa, lingkungan fisik yang kurang ventilasi, serta penurunan imunitas jemaah selama perjalanan dan ibadah.

Data WHO Global TB Report 2023 mencatat lebih dari 800.000 kasus TB per tahun di Indonesia, menempatkan negara ini pada posisi strategis sekaligus rentan terhadap penyebaran TB, terutama selama pertemuan massal seperti haji yang melibatkan jutaan jemaah dari berbagai negara.

Faktor risiko TB bagi jemaah haji sangatlah kompleks. Indonesia, sebagai penyumbang utama jemaah haji, menghadapi tantangan besar karena banyak jemaah berasal dari daerah dengan prevalensi TB tinggi.

Kepadatan di lokasi ibadah seperti Mina, Arafah, dan Masjidil Haram, ditambah dengan kondisi fisik jemaah yang melemah akibat kelelahan dan komorbiditas, menciptakan lingkungan ideal untuk penularan TB.

Lebih mengkhawatirkan, keberadaan TB resistan obat (MDR-TB) meningkatkan ancaman kesehatan global, dengan potensi penyebaran lintas negara selama haji. Studi menunjukkan bahwa 12% kasus TB pasca-haji di Arab Saudi berasal dari jemaah asing, dengan Indonesia sebagai kontributor utama (Razavi et al., 2020).

Meskipun regulasi seperti UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Perpres No. 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan TB telah menetapkan kerangka pengendalian penyakit menular, implementasi kebijakan kesehatan haji masih menghadapi sejumlah kendala.

Pertama, akses terhadap fasilitas kesehatan yang memadai untuk skrining TB sering kali terbatas, terutama di daerah rural.

Kedua, rendahnya edukasi dan stigma sosial terhadap TB menyebabkan banyak jemaah enggan melaporkan gejala atau menjalani pemeriksaan. Ketiga, kurangnya koordinasi lintas sektor dan integrasi data kesehatan menghambat deteksi dini dan tindak lanjut kasus TB.

Kegagalan konversi pengobatan TB menjadi isu krusial dalam penilaian istithaah kesehatan jemaah haji. Jemaah dengan TB aktif yang belum mencapai konversi dahak negatif berisiko menularkan penyakit selama ibadah.

Oleh karena itu, pemeriksaan kesehatan yang lebih ketat, termasuk evaluasi konversi pengobatan, harus menjadi bagian integral dari proses seleksi jemaah.

Sistem informasi kesehatan yang terintegrasi juga diperlukan untuk memastikan data jemaah tersedia secara real-time bagi Dinas Kesehatan, memungkinkan intervensi yang cepat dan tepat.

Untuk mengatasi tantangan ini, beberapa langkah strategis perlu diambil. Pertama, skrining TB harus dilakukan sejak awal pendaftaran jemaah, dengan fokus pada deteksi dini dan pemantauan pengobatan.

Kedua, edukasi berbasis kearifan lokal yang melibatkan tokoh agama dan masyarakat dapat mengurangi stigma serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya pemeriksaan kesehatan.

Ketiga, kolaborasi lintas sektor antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, dan pemerintah daerah harus diperkuat untuk memastikan pelaksanaan kebijakan yang terpadu.

Keempat, kerja sama internasional dengan Arab Saudi perlu ditingkatkan untuk menjamin kelanjutan pengobatan TB selama haji, mencegah putus obat, dan mengelola kasus MDR-TB.

Pemerintah juga harus memprioritaskan peningkatan kapasitas petugas kesehatan serta penyediaan sumber daya seperti alat diagnostik modern dan obat anti-TB yang merata di seluruh wilayah.

Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat memperkuat posisinya dalam mendukung target eliminasi TB global pada 2030, sekaligus melindungi kesehatan jemaah haji dan masyarakat luas dari ancaman penyakit ini.

Referensi

WHO Global TB Report 2023.

Razavi et al. (2020). Tuberculosis Cases Post-Hajj.

UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Perpres No. 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis.

Comment