Jakarta, Netral.co.id – Aktivitas penambangan dan hilirisasi nikel di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat Daya, kembali menuai sorotan tajam setelah aksi protes dilakukan oleh aktivis Greenpeace Indonesia dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference and Expo di Hotel Pullman, Jakarta, Selasa (3/6/2025).
Tiga aktivis Greenpeace bersama seorang perempuan adat Papua membentangkan spanduk ketika Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno tengah memberikan sambutan. Aksi diam namun sarat pesan tersebut mengkritik eksploitasi sumber daya alam yang dinilai merusak ekosistem Raja Ampat dan mengabaikan suara masyarakat lokal.
Greenpeace Indonesia mengungkapkan bahwa sejak 2024, lembaga tersebut telah mendokumentasikan berbagai pelanggaran lingkungan oleh perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran. Analisis citra satelit dan pantauan lapangan menunjukkan bahwa aktivitas tambang telah menghilangkan lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi asli.
Baca Juga: Novita Hardini Tegas Tolak Tambang Nikel di Raja Ampat: Bukan Kawasan yang Bisa Dinegosiasikan
Tak hanya daratan yang terdampak, pembukaan lahan dan pengerukan tanah juga menyebabkan limpasan material ke pesisir, memicu sedimentasi yang mengancam kelangsungan terumbu karang dan biota laut khas Raja Ampat wilayah yang selama ini dikenal sebagai salah satu pusat biodiversitas laut dunia.
Empat Pemilik Tambang di Balik Eksploitasi
Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), setidaknya terdapat empat perusahaan yang mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) di kawasan tersebut, meski hanya tiga di antaranya yang tercatat memiliki Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH):
1. PT Gag Nikel
Anak usaha PT Antam Tbk ini menguasai lahan tambang seluas 13.136 hektare di Pulau Gag. Berstatus pemegang kontrak karya sejak 1998, PT Gag Nikel mulai berproduksi secara resmi pada 2018.
2. PT Anugerah Surya Pratama
Perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang dikendalikan oleh Wanxiang Group, konglomerat nikel asal Tiongkok. Operasinya mencakup Pulau Waigeo dan Manuran. Induk usahanya juga terlibat dalam kegiatan hilirisasi nikel di kawasan industri Morowali.
3. PT Mulia Raymond Perkasa
Minim publikasi, perusahaan ini beroperasi di Pulau Batang Pele. KLHK menyebut aktivitas eksplorasinya telah dihentikan karena tidak memiliki dokumen lingkungan maupun PPKH.
4. PT Kawei Sejahtera Mining
Memiliki IUP operasi produksi hingga 2033, namun diduga membuka tambang seluas 5 hektare di luar kawasan izin dan tanpa PPKH di Pulau Kawe. Akibat aktivitasnya, sedimentasi pesisir terjadi, dan perusahaan kini menghadapi sanksi administratif serta potensi gugatan perdata.
Paradoks Nikel Hijau dan Kerusakan Lingkungan
Di tengah narasi besar transisi energi dan peningkatan kebutuhan nikel untuk baterai kendaraan listrik, sejumlah aktivis menilai bahwa kebijakan hilirisasi justru mengorbankan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat.
Baca Juga: Negara Absen di Raja Ampat: Saat Surga Laut Menanti Kehancuran
“Raja Ampat bukan hanya tempat indah di brosur pariwisata. Ia adalah rumah bagi ribuan makhluk hidup dan masyarakat adat yang hidup bersamanya,” tegas juru bicara Greenpeace dalam pernyataan tertulis.
Greenpeace mendesak pemerintah untuk meninjau ulang izin tambang di kawasan sensitif ekologis serta menegakkan hukum lingkungan secara tegas terhadap perusahaan yang terbukti melanggar.
Comment