Politisasi konservatisme dalam ajang Pilkada Kabupaten Bima telah membawa dampak yang signifikan, tidak hanya memperlambat laju pembangunan, tetapi juga merusak kualitas demokrasi lokal. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana nilai-nilai tradisional, agama, dan stabilitas sosial dapat digunakan secara berlebihan hingga menciptakan polarisasi yang merugikan masyarakat.
Konservatisme Politik dan Dampaknya pada Pilkada Bima
Konservatisme politik sering diasosiasikan dengan upaya mempertahankan tradisi dan moralitas. Namun, praktik ini menjadi berbahaya ketika diterapkan secara terus-menerus dalam konteks politik, terutama ketika nilai-nilai tradisi dan agama dimanfaatkan untuk kepentingan elit tertentu. Di Kabupaten Bima, politisasi konservatisme menciptakan ketegangan sosial yang berujung pada intoleransi dan kesenjangan antarkelompok.
Pemahaman melalui Teori Politik Kritis
Teori dari Antonio Gramsci dan Michel Foucault memberikan wawasan penting untuk memahami fenomena ini. Gramsci, melalui konsep hegemoni budaya, menunjukkan bagaimana kekuatan politik menggunakan ideologi untuk mengendalikan masyarakat. Dalam kasus Bima, simbol-simbol budaya seperti Keturunan Sultan Bima dan ajaran agama sering digunakan untuk membangun narasi yang menguntungkan elit, sekaligus mendiskreditkan kelompok yang dianggap berbeda.
Sementara itu, Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan tidak hanya berasal dari institusi formal, tetapi juga dari cara ideologi dikonstruksi dan disebarluaskan. Konservatisme politik yang berpadu dengan nilai-nilai tradisional di Bima menjadi alat kekuasaan yang memperkuat struktur sosial yang ada, tetapi sekaligus membatasi perubahan yang dibutuhkan.
Dampak Negatif Politisasi Konservatisme
- Polarisasi Sosial dan Ketegangan Antarkelompok
Politisasi konservatisme menciptakan jurang antara kelompok “konservatif” dan “progresif”. Dalam Pilkada Bima, retorika berbasis tradisi dan agama memperparah perpecahan ini, hingga memicu konflik sosial yang menghambat kerja sama untuk pembangunan daerah.
2. Penguatan Status Quo dan Ketidakadilan
Nilai-nilai konservatif sering dimanfaatkan elit untuk mempertahankan kekuasaan, dengan mengabaikan reformasi struktural yang diperlukan. Akibatnya, proses demokrasi yang seharusnya inklusif menjadi terhambat, sementara masyarakat yang membutuhkan perubahan justru semakin terpinggirkan.
3. Intoleransi dan Diskriminasi
Politisasi ini juga mendorong intoleransi terhadap kelompok yang dianggap berbeda. Kelompok minoritas atau mereka yang mendukung perubahan sering kali dikucilkan, baik secara sosial maupun politik, yang akhirnya merusak harmoni dan kepercayaan terhadap demokrasi.
4. Stagnasi Pembangunan Daerah
Ketika konservatisme dijadikan alat politik, perhatian terhadap inovasi dan pembangunan inklusif cenderung diabaikan. Hal ini memperburuk kondisi Kabupaten Bima, yang memerlukan kebijakan progresif untuk mengatasi tantangan di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
5. Solusi untuk Menghentikan Politisasi Konservatisme
Langkah untuk mengatasi masalah ini adalah mendorong budaya politik yang inklusif dan kritis. Pendidikan politik yang memperkenalkan masyarakat pada berbagai perspektif ideologi perlu diperkuat. Selain itu, penting untuk memilih pemimpin yang mampu merangkul semua golongan dan mengutamakan kebijakan yang mendukung pembangunan yang adil dan berkelanjutan.
Dengan mengedepankan politik yang inklusif dan berbasis pada kepentingan bersama, Kabupaten Bima dapat melepaskan diri dari belenggu konservatisme yang memecah belah, menuju masa depan yang lebih progresif dan sejahtera.
Comment