Usulan Vasektomi Sebagai Syarat Bansos: Antara Gagasan Radikal dan Pelanggaran Hak

Pernyataan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, soal usulan vasektomi sebagai syarat pemberian bantuan sosial (bansos) menuai kontroversi nasional.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. (Foto: dok)

Bandung, Netral.co.id – Pernyataan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, soal usulan vasektomi sebagai syarat pemberian bantuan sosial (bansos) menuai kontroversi nasional. Gagasan yang dilontarkan dalam rapat koordinasi di Balai Kota Depok, 29 April 2025 itu dinilai diskriminatif dan bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia serta prinsip syariat Islam.

“Kalau orang tidak punya kemampuan membiayai kelahiran dan pendidikan, ya jangan dulu ingin jadi orang tua,” ujar Dedi, sembari menyebut bahwa warga miskin yang bersedia menjalani vasektomi akan diberikan insentif sebesar Rp500 ribu.

Pernyataan tersebut langsung disambut kritik tajam dari berbagai kalangan. Komnas HAM menyebut kebijakan semacam itu melanggar hak atas tubuh dan hak warga negara untuk mendapatkan bantuan negara. Dari sisi hukum agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara tegas menyatakan bahwa vasektomi hukumnya haram, kecuali dalam kondisi darurat medis yang memenuhi lima syarat ketat.

“Secara prinsip, ini adalah tindakan pemandulan. Dalam syariat, hal itu dilarang,” kata Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Kiai Abdul Muiz Ali.

Baca Juga: Simak 6 Pendidikan Ala Gubernur Jabar Dedy Mulyadi

Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 1979 serta hasil Ijtima Ulama pada 2009 dan 2012 menegaskan bahwa kontrasepsi permanen bertentangan dengan ajaran Islam yang menempatkan keturunan sebagai amanah ilahi. Pemerintah pusat pun angkat suara. Menteri Koordinator Bidang PMK Muhaimin Iskandar dan Menteri Sosial Gus Ipul menegaskan bahwa aturan bansos tidak boleh dibuat sepihak oleh daerah.

Kepala BKKBN Wihaji juga menyatakan bahwa lembaganya akan tetap berpegang pada panduan fatwa MUI dan tidak mengampanyekan vasektomi sebagai program nasional.

Di sisi lain, pendekatan Dedi dinilai tidak hanya bermasalah secara agama dan etika, tetapi juga gagal memahami akar persoalan kemiskinan. “Solusi menekan kemiskinan itu bukan mensterilkan orang miskin, tapi membuka akses pendidikan dan pekerjaan, terutama untuk perempuan,” kata Elisa Sutanudjaja, Direktur Rujak Center for Urban Studies.

Pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia, Rissalwan Handy Lubis, menyebut wacana ini sebagai “kebablasan dan agak konyol”, menandakan kegagalan negara dalam merancang kebijakan berbasis empati dan konstitusi.

Sementara itu, suara penolakan dari masyarakat terus bergema, menandakan bahwa usulan kontroversial ini bukan hanya problem teknis, tapi juga menyentuh ranah moral, hak asasi, dan keadilan sosial.

Comment