Provinsi Pulau Sumbawa: Jalan Terang Otonomi atau Lorong Gelap Beban Baru?

Wacana pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa kembali menggema di tengah ketimpangan pembangunan antara wilayah timur dan barat Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Tufikurrahman, mahasiswa Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Jurusan Ilmu Pemerintahan. (Foto: Netral.co.id/F.R)

Opini oleh: Tufikurrahman, mahasiswa Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Jurusan Ilmu Pemerintahan

MakassarWacana pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa kembali mencuat ke permukaan. Di tengah semangat desentralisasi dan pemerataan pembangunan, gagasan ini tak pelak memicu perdebatan: apakah pemekaran wilayah ini benar-benar solusi atas ketimpangan pembangunan, atau justru menjadi proyek politis yang menambah beban negara?

Pulau Sumbawa yang terdiri dari Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Bima, dan Kota Bima, memiliki karakter yang berbeda dibandingkan dengan Pulau Lombok, baik secara geografis, sosial, maupun ekonomi. Kesenjangan pembangunan antara keduanya telah lama menjadi sumber kekecewaan masyarakat Sumbawa, yang merasa terpinggirkan dari arus utama kebijakan provinsi yang berpusat di Mataram.

Janji Pemerataan dan Identitas yang Menguat

Dorongan untuk membentuk provinsi baru berakar pada keinginan memperpendek jarak antara rakyat dan pelayanan publik. Pemerintah daerah yang lebih dekat diharapkan bisa lebih tanggap terhadap kebutuhan lokal, mulai dari infrastruktur dasar hingga akses pendidikan dan kesehatan.

Tak hanya itu, pemekaran juga dilihat sebagai cara untuk mengangkat identitas budaya masyarakat Sumbawa yang selama ini hidup dalam bayang-bayang dominasi budaya Lombok.

Sumber Daya Melimpah, Tapi Siapkah Dikelola Sendiri?

Sumbawa bukan wilayah miskin potensi. Hasil pertanian, peternakan, perikanan, dan tambang seperti emas serta mineral lainnya menjadi sumber daya yang menjanjikan. Namun, pertanyaannya adalah: apakah provinsi baru akan mampu mengelola kekayaan ini dengan efektif dan berkelanjutan?

Tanpa fondasi tata kelola yang kuat, pemekaran bisa membuka pintu bagi eksploitasi tanpa kendali, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan baru. Pemerintah baru harus hadir tidak hanya dengan semangat, tetapi juga dengan peta jalan pembangunan yang jelas dan berpihak pada kesejahteraan jangka panjang.

Tantangan Institusional dan Risiko Ketergantungan

Membentuk provinsi baru bukan sekadar soal penambahan wilayah administrasi. Ia memerlukan birokrasi yang siap, sumber daya manusia yang kompeten, infrastruktur pemerintahan, dan yang tak kalah penting kemandirian fiskal. Banyak provinsi hasil pemekaran terdahulu justru terbebani oleh ketergantungan pada dana pusat dan minimnya kapasitas birokrasi.

Tanpa kesiapan institusional, pemekaran bisa berakhir sebagai beban tambahan yang hanya memperpanjang daftar pekerjaan rumah pemerintah pusat.

Risiko Gesekan dan Pentingnya Kepemimpinan Inklusif

Pemekaran juga membawa dimensi sosial-politik yang tidak ringan. Penentuan ibu kota provinsi, alokasi jabatan, hingga pembagian anggaran berpotensi memicu konflik antarwilayah. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, proses ini harus dilakukan secara inklusif, transparan, dan menjaga kesatuan.

Akhirnya, Hati-hati Menyulap Harapan Jadi Kenyataan

Pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa harus dilihat sebagai proses jangka panjang, bukan solusi instan. Ia memerlukan kajian akademik yang mendalam, perencanaan teknokratik, dan komitmen bersama dari berbagai pihak. Tanpa itu, harapan bisa berubah menjadi beban, dan janji bisa menjelma menjadi kekecewaan.

Jika dijalankan dengan perencanaan matang dan kepemimpinan yang visioner, pemekaran ini bisa menjadi lompatan menuju pemerataan pembangunan dan pemberdayaan lokal. Tapi jika terburu-buru, Sumbawa bisa terjebak dalam lorong gelap pemekaran yang tak kunjung membawa terang.

Comment