Jakarta, Netral.co.id – Pemerintah Indonesia merancang regulasi baru terkait Harga Batu Bara Acuan (HBA) sebagai patokan ekspor yang akan diberlakukan mulai 1 Maret 2025. Kebijakan ini mendapat dukungan dari PT Bukit Asam Tbk (PTBA), namun di sisi lain, pelaku industri menghadapi tantangan dalam penerapannya.
Langkah ini diambil untuk meningkatkan nilai jual batu bara Indonesia di pasar internasional, yang selama ini dinilai terlalu rendah akibat minimnya pengaruh pemerintah dalam perdagangan global.
Sekretaris Perusahaan PTBA, Niko Chandra, menyatakan dukungan terhadap kebijakan tersebut, tetapi berharap agar regulasi ini tetap menjaga daya saing industri batu bara Indonesia di pasar global.
“PTBA mendukung upaya pemerintah dalam merancang regulasi untuk menjaga stabilitas harga, melindungi kepentingan nasional, serta mengoptimalkan pendapatan negara. Namun, penting agar penerapan HBA tidak mengurangi daya saing industri batu bara Indonesia,” ujar Niko belum lama ini.
Bahlil Lahadalia: Indonesia Harus Mandiri dalam Menentukan Harga Batu Bara
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kemandirian Indonesia dalam menentukan harga batu bara di pasar global.
Baca Juga : Usai LPG Bahlil Lahadalia Sebut Akan Terbitkan Kebijakan Baru
“Selama ini, harga batu bara kita ditentukan oleh negara lain. Kita harus punya independensi, harus punya nasionalisme. Jangan harga batu bara kita ditentukan oleh orang lain,” tegas Bahlil.
Tantangan dalam Penerapan HBA
Meskipun kebijakan ini telah disosialisasikan sejak 26 Februari 2025, penerapannya menghadapi sejumlah kendala. Salah satunya adalah ketergantungan penjual dan pembeli dalam pasar global, di mana harga batu bara selama ini ditentukan oleh indeks internasional.
Pelaku industri menilai bahwa Indonesia sulit bergerak sendiri dalam menentukan harga di pasar global, mengingat pasokan batu bara internasional berasal dari berbagai negara.
Plt Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Gita Mahyarani, mengungkapkan bahwa banyak perusahaan belum memahami mekanisme implementasi HBA, terutama terkait kontrak ekspor yang sudah berjalan.
Baca Juga : Perbaiki Citra, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia Rumuskan HBA Batu Bara
“Kami menginginkan adanya masa transisi atau grace period jika aturan ini diterapkan secara wajib. Renegosiasi kontrak dengan pembeli membutuhkan waktu yang tidak sebentar,” ujar Gita kepada awak media, belum lama ini.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menilai kebijakan ini bisa menjadi tantangan dalam meyakinkan pembeli luar negeri.
Menurutnya, selama ini transaksi batu bara Indonesia mengacu pada indeks harga internasional yang telah diakui secara global.
“Dalam Pasal 159 ayat (2) PP 96/2021 disebutkan bahwa Menteri menetapkan Harga Patokan Batu Bara (HPB) berdasarkan mekanisme pasar atau indeks harga internasional. Sementara HBA bisa saja digunakan untuk dasar pengenaan royalti,” jelas Hendra.
Kekhawatiran Pembeli Internasional
Hendra juga menyampaikan bahwa banyak pembeli, terutama dari China, masih meragukan kebijakan ini.
“Kekhawatiran ini banyak saya dengar dari buyer saat acara 2nd China Coal Import and International Summit di Guangzhou pada 27 Februari lalu,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti aspek hukum dari kebijakan ini, terutama terkait perubahan aturan yang dinilai mendadak. Menurutnya, hal ini bisa menyulitkan eksportir dalam mengantisipasi dampaknya, terutama karena mekanisme teknis dan sanksi bagi pelanggar belum dijelaskan secara rinci.
Dengan berbagai tantangan yang ada, pelaku industri berharap pemerintah dapat mempertimbangkan skema transisi agar penerapan HBA tidak mengganggu stabilitas ekspor batu bara Indonesia.
Comment