Dilema Investasi Energi Hijau: Potensi Besar, Risiko Tersembunyi di Sulawesi Selatan

Pj Gubernur Sulsel, Prof Fadjry Djufry saat menerima investor asal Malaysia.

Pj Gubernur Sulsel, Prof Fadjry Djufry saat menerima investor asal Malaysia. (Foto: Netral.co.id/FR).

Makassar, Netral.co.id – Di tengah dorongan global menuju energi ramah lingkungan, rencana investasi PT Citaglobal Environment asal Malaysia untuk membangun pembangkit listrik energi hijau di Sulawesi Selatan (Sulsel) mendapat sambutan hangat dari pemerintah daerah.

Namun, di balik peluang ini, muncul sejumlah pertanyaan tentang dampak jangka panjang dan risiko tersembunyi dari proyek tersebut.

Penjabat Gubernur Sulsel, Prof. Fadjry Djufry, menegaskan dukungan penuh terhadap rencana ini sebagai bagian dari target peningkatan investasi pada 2025.

“Kami menyambut baik rencana investasi ini. Tahun ini merupakan tahun investasi, dan kami akan memberikan dukungan penuh,” ujarnya.

Pembangkit listrik yang direncanakan akan memanfaatkan limbah organik seperti sampah, sekam padi, batok kelapa, dan ampas sawit sebagai bahan baku utama.

Sekilas, proyek ini terlihat ramah lingkungan, namun para pengamat energi mempertanyakan efektivitas dan keberlanjutan penggunaan limbah tersebut dalam skala besar.

Dampak Lingkungan dan Sosial yang Terabaikan?

Meskipun proyek ini menjanjikan energi bersih, ada kekhawatiran mengenai rantai pasokan limbah organik yang diperlukan.

Baca Juga : Investor Malaysia Lirik Investasi Pembangkit Listrik Energi Hijau di Sulsel

“Untuk menjaga operasi pembangkit secara konsisten, pasokan limbah harus stabil. Jika tidak hati-hati, bisa terjadi eksploitasi sumber daya atau konversi lahan yang justru merusak lingkungan,” ujar seorang pakar lingkungan dari Universitas Hasanuddin.

Selain itu, proses pengumpulan limbah dan transportasinya dalam jumlah besar dapat menimbulkan jejak karbon yang signifikan, yang ironisnya bertentangan dengan tujuan energi hijau.

Ketergantungan Teknologi Asing dan Transfer Ilmu yang Tidak Pasti

County Director PT Citaglobal Environment, Herry Warganegara, menyebut bahwa teknologi yang akan digunakan telah sukses diterapkan di Sri Lanka, Thailand, Singapura, dan Malaysia.

Perusahaan juga menjanjikan transfer teknologi ke Indonesia. Namun, dalam banyak kasus investasi asing, janji transfer teknologi tidak selalu berjalan maksimal.

“Pengalaman menunjukkan bahwa janji transfer teknologi sering kali hanya sebatas pelatihan teknis ringan tanpa membangun kapasitas penuh di dalam negeri,” kata seorang ekonom energi.

Hal ini dapat memperpanjang ketergantungan Indonesia pada perusahaan asing untuk pengoperasian dan pemeliharaan jangka panjang.

Kebutuhan Energi vs. Keamanan Energi Lokal

Salah satu alasan utama proyek ini adalah untuk mendukung kebutuhan listrik industri smelter yang berkembang pesat di Sulsel serta potensi pasokan energi untuk Ibu Kota Nusantara (IKN) di masa depan.

Baca Juga : Investor Asal Hongkong Temui Gubernur Andi Sudirman Bahas Investasi Sutera di Sulsel

Namun, para pengamat menyoroti bahwa fokus pada kebutuhan industri besar bisa mengorbankan pasokan energi untuk masyarakat lokal.

“Sulsel memang butuh peningkatan kapasitas energi, tapi harus dipastikan bahwa masyarakat lokal juga merasakan manfaatnya, bukan hanya industri besar,” ujar perwakilan LSM lingkungan setempat.

Mendorong Ekonomi atau Mengundang Risiko Baru?

Investasi ini memang membuka peluang besar untuk ekonomi daerah, mulai dari penciptaan lapangan kerja hingga potensi peningkatan pendapatan daerah.

Namun, tanpa pengawasan ketat dan keterlibatan aktif masyarakat lokal, proyek ini bisa menjadi bumerang, membawa lebih banyak risiko dibandingkan manfaat.

Energi hijau memang masa depan, tetapi jalan menuju ke sana harus dilalui dengan kehati-hatian agar tidak menciptakan masalah baru atas nama keberlanjutan.

Comment