Semarang, Netral.co.id– Peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) di Jawa Tengah yang semula berlangsung damai, berubah mencekam setelah aksi massa buruh disusupi oleh kelompok berpakaian hitam yang diduga Anarko. Insiden ini memuncak dengan penyanderaan seorang anggota polisi, Brigadir Eka, yang saat itu tengah bertugas secara tertutup.
Brigadir Eka kini tengah menjalani perawatan intensif di RS Bhayangkara Semarang. Ia mengalami luka fisik dan trauma akibat disandera oleh kelompok anarkis dalam aksi di Gedung Auditorium Universitas Diponegoro (Undip), Kamis (1/5/2025).
Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Ribut Hari Wibowo langsung menjenguk korban, menegaskan bahwa keselamatan personel adalah prioritas utama institusi.
“Setiap personel yang bertugas membawa kehormatan institusi, kami akan memberikan perhatian serius terkait hal ini,” ujar Kapolda, Sabtu (3/5/2025).
Demo Damai yang Disusupi
Aksi buruh semula berjalan tertib, diwarnai orasi dan lantunan selawat. Namun, suasana berubah saat sekelompok orang berpakaian hitam muncul dan memprovokasi massa. Aparat mengidentifikasi mereka sebagai bagian dari jaringan Anarko, kelompok yang kerap dikaitkan dengan aksi rusuh dalam demonstrasi.
Untuk menghindari eskalasi, aparat memindahkan massa buruh ke halaman Kantor Gubernur Jateng. Namun, kelompok Anarko justru semakin brutal merusak pagar, membakar ban, melempari aparat, hingga menyandera Brigadir Eka.
Dikecam dan Tak Ditoleransi
Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, mengecam keras aksi kekerasan terhadap aparat negara. Ia menegaskan bahwa penyanderaan terhadap petugas pengamanan tidak dapat ditoleransi.
“Tindakan penyanderaan terhadap aparat kepolisian yang tengah menjalankan tugas pengamanan tidak bisa dibenarkan, kami tidak menoleransi adanya pelanggaran hukum,” katanya.
Analisis Kritis
Kejadian ini menandai urgensi evaluasi sistem pengamanan dalam aksi massa, terutama terkait infiltrasi kelompok radikal yang menyusup ke ruang demokrasi. Sementara buruh memperjuangkan hak-haknya secara damai, kehadiran elemen destruktif semacam Anarko justru mengaburkan substansi perjuangan dan memperbesar risiko kekerasan.
Aparat keamanan pun kini dihadapkan pada dilema: menjaga kebebasan berekspresi namun tetap sigap terhadap potensi ancaman. Respons tegas terhadap pelaku penyanderaan menjadi batu uji kredibilitas aparat dalam menegakkan hukum tanpa mencederai semangat demokrasi.
Comment