Netral.co.id – Wacana pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa kembali mencuat ke permukaan, menyusul kian tajamnya sorotan terhadap kesenjangan pembangunan antara Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok. Aspirasi ini sesungguhnya bukan gagasan baru, melainkan representasi dari akumulasi kekecewaan masyarakat Sumbawa atas rendahnya perhatian Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat terhadap pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, serta representasi politik yang adil.
Dalam perspektif desentralisasi asimetris, pemekaran wilayah semestinya menjadi solusi atas ketimpangan struktural. Pulau Sumbawa memiliki luas wilayah yang signifikan dan sumber daya alam yang melimpah. Namun, tanpa kewenangan otonom, potensi ini lebih banyak menjadi ladang eksploitasi daripada motor penggerak pembangunan lokal.
Meski demikian, gagasan pemekaran tidak boleh dilepaskan dari kerangka tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Apakah struktur pemerintahan baru benar-benar akan menjawab kebutuhan rakyat? Atau justru menambah beban birokrasi dan memperluas ruang manuver elite politik dalam meraih kekuasaan dan proyek? Sejarah menunjukkan bahwa pemekaran wilayah tidak selalu membawa perbaikan pelayanan publik kadang justru berujung pada fragmentasi kekuasaan yang tidak produktif.
Dalam konteks politik anggaran, Kementerian Dalam Negeri pernah menyoroti kapasitas fiskal Pulau Sumbawa yang dianggap belum memadai. Artinya, semangat pemekaran, betapapun kuat secara historis dan kultural, tetap harus didukung oleh perhitungan fiskal yang rasional. Kajian teknokratik yang objektif dan independen menjadi syarat mutlak sebelum langkah politik diambil.
Pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa semestinya menjadi momentum evaluasi terhadap praktik desentralisasi selama ini. Bila dirancang dengan matang, provinsi baru dapat memperbaiki kualitas pemerintahan, meningkatkan akses layanan publik, dan membuka jalan menuju kesejahteraan yang lebih merata. Namun jika dilaksanakan tanpa arah dan hanya berdasarkan kepentingan politik jangka pendek, ia bisa menjadi proyek gagal yang mengulang kesalahan masa lalu.
Sebagai mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan, saya mendukung pemekaran ini dengan catatan kritis: pemekaran harus berlandaskan kebutuhan nyata masyarakat, memiliki proyeksi fiskal jangka panjang yang berkelanjutan, serta ditopang oleh reformasi kelembagaan daerah. Tanpa itu semua, provinsi baru hanya akan menjadi bangunan administratif yang rapuh.
Lebih dari itu, pemekaran harus dikawal dengan prinsip transparansi dan partisipasi publik, khususnya dari masyarakat akar rumput. Gagasan ini sah secara konstitusional dan bermakna secara moral, tetapi harus dipastikan tidak menjadi agenda tertutup elite semata. Jangan sampai semangat memekarkan justru menjauhkan rakyat dari esensi kesejahteraan dan keadilan sosial yang mereka harapkan.
Penulis: Taufikurrahman
Comment