Partai Politik atau Peternakan Keluarga?

Dalam sistem demokrasi, partai politik seharusnya menjadi alat representasi rakyat dan wadah pembentukan kepemimpinan nasional. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan ironi: alih-alih menjadi institusi demokratis yang inklusif, banyak partai justru menjelma menjadi “kandang sapi”tertutup, feodal, dan hanya mengabdi pada satu nama keluarga atau klan elite.

Taufikurrahman, aktivis muda asal Kabupaten Bima. (Foto: Netral.co.id/F.R)

Oleh: Taufikurrahman

Netral.co.id – Dalam sistem demokrasi, partai politik seharusnya menjadi alat representasi rakyat dan wadah pembentukan kepemimpinan nasional. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan ironi: alih-alih menjadi institusi demokratis yang inklusif, banyak partai justru menjelma menjadi “kandang sapi”tertutup, feodal, dan hanya mengabdi pada satu nama keluarga atau klan elite.

Istilah politik kandang sapi bukan sekadar sindiran, melainkan kritik tajam terhadap praktik politik yang melanggengkan dominasi keluarga atau loyalis dekat dalam seluruh lini partai. Kaderisasi menjadi formalitas semu. Posisi strategis hanya berpindah dari satu “sapi tua” ke “anak sapi” lain yang masih satu lingkaran. Akibatnya? Gagasan baru mandul, regenerasi tumpul, dan partai semakin jauh dari denyut aspirasi publik.

Lebih parah lagi, pola ini justru dirawat dengan sadar. Struktur partai kerap didesain tidak demokratis sejak awal, menjadikan pemilu internal sebagai pertunjukan sandiwara. Loyalitas lebih dihargai ketimbang kapasitas. Ini bukan hanya kemunduran politik, tapi bentuk pembusukan kelembagaan.

Dampaknya konkret: krisis legitimasi di hadapan rakyat. Pemilih muda merasa tak punya tempat. Tokoh-tokoh potensial enggan masuk karena tahu bahwa “pintu depan” partai sudah dibarikade oleh dinasti. Tak heran jika survei demi survei menunjukkan menurunnya kepercayaan publik terhadap partai politik.

Lebih dari sekadar kehilangan suara, partai yang memelihara politik kandang sapi tengah menggali kuburnya sendiri. Mereka akan ditinggalkan zaman, kehilangan relevansi, dan menjadi fosil politik yang hanya dikenang karena keangkuhannya menolak berubah.

Reformasi internal tak bisa ditunda. Demokrasi tak bisa tumbuh di atas kandang yang tertutup. Jika partai masih ingin dipercaya rakyat, maka ia harus rela membongkar pagar kandangnya sendiri, membuka pintu selebar mungkin, dan memelihara kepemimpinan dari benih-benih meritokrasi bukan dari silsilah keluarga.

Comment