Jakarta, Netral.co.id – Di balik kasus korupsi yang menjerat Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, terungkap dugaan praktik bisnis curang yang merugikan negara dan masyarakat hingga triliunan rupiah.
Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap bahwa dalam pengadaan produk kilang, Riva diduga membayar harga bahan bakar minyak (BBM) RON 92 (Pertamax), tetapi yang dibeli adalah BBM dengan RON 90 (Pertalite) atau lebih rendah, yang kemudian dilakukan blending atau pencampuran agar seolah-olah menjadi RON 92.
Modus tersebut dinilai merugikan negara dan masyarakat karena bahan bakar yang dipasarkan tidak sesuai dengan harga dan spesifikasi.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa tindakan ini tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga berdampak besar pada tata kelola energi nasional.
Selain itu, dugaan korupsi ini tidak hanya terbatas pada pemalsuan kualitas BBM. Kejaksaan Agung menemukan adanya kerugian negara dalam beberapa aspek lain, termasuk minyak mentah melalui broker, serta impor BBM yang juga dilakukan melalui perantara.
Kerugian negara dari keseluruhan kasus ini diperkirakan mencapai Rp193,7 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp35 triliun berasal dari ekspor minyak mentah dalam negeri yang merugikan negara, Rp2,7 triliun dari impor minyak mentah, dan Rp9 triliun dari impor BBM melalui perantara.
Selain itu, kebijakan pemberian kompensasi dan subsidi yang tidak tepat sasaran pada tahun 2023 turut menambah beban keuangan negara hingga mencapai Rp147 triliun.
Di tengah ramainya pemberitaan ini, PT Pertamina (Persero) membantah bahwa produk Pertamax yang beredar di masyarakat merupakan hasil oplosan dari Pertalite.
Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, menegaskan bahwa BBM yang dijual ke masyarakat telah sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan dan diawasi oleh Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
“Kami pastikan bahwa produk yang sampai ke masyarakat itu sesuai dengan speknya masing-masing,” ucap Fadjar.
Menurutnya, yang dipermasalahkan dalam kasus ini adalah perbedaan harga dalam pengadaan BBM di tingkat internal perusahaan, bukan kualitas BBM yang sampai ke masyarakat.
Kasus ini menambah panjang daftar skandal yang melibatkan BUMN strategis di Indonesia. Kejaksaan Agung memastikan bahwa proses hukum terhadap Riva Siahaan dan enam tersangka lainnya akan berjalan sesuai aturan yang berlaku.
Sementara itu, publik masih menantikan perkembangan lebih lanjut mengenai dampak dari dugaan korupsi ini terhadap harga dan distribusi BBM di Indonesia.
Comment