Sumpah Pemuda : The Contract Intellectual !

Netral.co.id

Mahasiswa PPs UNM, Ahdiani Saiful. Dok Netral.co.id

Netral.co.id, Makassar, – Sumpah pemuda, kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Kami poetera dan poeteri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Teks Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, kita ketahui bahwa penyatuan tanah air, lahirnya bangsa, penetapan bahasa, merupakan rangkaian sejarah yang tidak terputus dan menegaskan bahwa itu merupakan tindakan yang mengakumulasi seluruh tradisi tutur yang telah berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama. Sebab tidak ada tindakan universal seperti ini tanpa tradisi tutur yang hidup sebelumnya.

Kadangkala kita jumpai kalimat dari mulut busuk orang-orang yang anti tradisi tutur ; “berhenti berbicara, sekarang waktunya bertindak. ”Saya dapat pahami bahwa tindakan merupakan akumulasi tradisi tutur dan implikasinya untuk umum dan Universal,”. Jika tindakan masih berlaku parsial yang mengarah pada individualism dan pragmatism, maka selama itu kita masih berbicara bukan bertindak.

Ketika ditelisik, muatan teks Sumpah Pemuda mengakomodir jenis kelamin dengan visi jangka panjang tanpa sedikitpun memutus rantai peristiwa. Artinya teks ini menghapus subordinasi dan dominasi serta mendudukkan semua perkara dibawah payung kratifitas yang dihasilakan oleh pikiran sebagai warisan terbaik ummat manusia dari Tuhan Yang Maha Esa.

Krisis Identitas

Modernisasi yang katanya membawa kemajuan tetapi menampilkan kenyataan bahwa manusia Indonesia telah dilucuti, ditelanjangi, sampai pada tingkat paling dasar yakni diberangusnya identitas.

Semula Pancasila telah menngafirmasi bahwa bangsa Indonesia berdiri diatas bangsa-bangsa berdaulat dan merdeka. Kedaulatan dan kemerdekaan adalah agama, adat-istiadat, tradisi, budaya yang sejak semula telah mrengakar sebagai identitas diri manusia Indonesia.

Diberangusnya indentitas ini saya melihatnya sebagai kelanjutan perang. Jika semula colonial kalah dan mundur dalam perang geriliawan (Asimetris War), maka sejak runtuhnya orde lama tahun 65-66. Maka orde baru menjadi babak baru perang dimulai lagi tetapi dalam bentuk yang berbeda, tidak secara langsung tetapi menggunakan taktik pihak ketiga sebagaimana contoh perang dingin (Proxy War). 1967 Penanaman Modal Asing (PMA).

Melalui kebijakan itu colonialisme, imperialism, mendapatkan angina segar untuk merongrong Ibu Pertiwi dengan mengeruk kekayaan yang dikandungnya dari Sabang sampai Merauke hingga manusia Indonesia tampak seperti ayam yang kehilangan induk, yang tersisah hanya kehidupan pengemis yang sejak lahir dililit utang. Gold (Mas), Glory (Kekuasaan), Gospel (Missionaris) yang menjadi pilar kapitalisme tidak dapat dielakkan lagi telah tumbuh subur disini.

Kapitalisme semakin berjaya di negara sedang berkembang, bahkan kini telah tampil dengan pilar baru : Fun (Hiburan), Food (Makanan), Fashion (Pakaian), untuk mencipta masyarakat konsumtif. Gejala konsumtif masyarakat Indonesia sesungguhnya telah malampaui doktrin keagamaan yang tampak melalui suri tauladan Nabi Muhammad SAW dengan prinsip hidup kesederhaan.

Karena timur identic dengan agama, maka dapat disebut sebagai masyarakat konsumtif yang taat (Moeslim Abdurrahman, 2003).

Pasar modern itu adalah kehidupan alam bawah sadar, semua orang dipaksa bermimpi. Pusat hiburan, perbelanjaan menjadi semacam etalase bagi orang kaya baru. Sebagaimana analisa Sosiolog Amerika ; “Is not to buy, it is to dream.”(Den de Lillo).

Bahwa ketika ibu-ibu masuki KFC untuk memesan Kentucky, sesungguhnya itu bukan sekedar untuk berbelanja atau mencicipi melainkan ada mimpi yang ditanam atau sedang mengidentifikasi diri bahwa ada perbedaan antara mereka yang makan ayam kentucy dengan yang makan ayam lalapan dipinggir jalan raya.

Menjadi konsumen yang taat adalah tindakan orang-orang modern, dan menjadi modern tidak dibutuhkan pikiran, cukup mengkonsumsi untuk terus bermimpi.

Sangatlah kontradiktif humanisme pendidikan Paulo Freire yang memaksakan kesadaran otentik tumbuh untuk menciptakan harapan (Pedagogy of Hope) serta ungkapan Cak Nur yang sangat khas ; Moderniasi ialah rasionalisasi bukan westerniasi. Nurcholis Madjid, 207 hal.

Mengharap kaum intelektual, kaum intelektual adalah mereka yang bergerak dari posisi awam dan menaiki piramida terpelajar dan intelektual, kemudian turun kembali mengengok kehidupan awam, sebab jika bertahan diposisi intelektual dan mengabaikan nasib orang-orang tercecer akan menjadikannya seperti ucapan Dr. Ali Syari’ati Berhala-Berhala Intektual. (hal,5. 2017).

Harapan memiliki irisan yang sama dengan penantian, apakah mungkin serupa kepercayaan orang beragama yang menanti Isa Al-Masih sebagai juru selamat ? Tentu hal ini tidak membuat kita berpangku-tangan dan menanti saja melainkan harus dijemput bahkan jika di langit perubahan itu ada, harus ditarik turun ke bumi.

Sumpah Pemuda saya anggap bisa menjadi sumbu utama perubahan ketika diselami dengan baik butir-butir teksnya dengan pikiran yang terbuka dan bebas serta diarahkan pada semangat universal yakni menjaga keutuhan tanah yang semula disatukan dalam Sumpah Palappa.

Mengembalikan identitas diri yang tampak dalam penngakuan sejak bangsa Indonesia lahir saat Sumpah Pemuda, menjaga persatuan dengan bahasa persatuan yang ditetapkan saat negera Indonesia ini dibentuk.

Harapan itu haruslah selaras dengan tradisi tutur yang terus hidup hingga tiba pada kulminasi dan memaksa kita pemoeda-pemoedi bertindak. Wallahualam.

Penulis: Ahdiani Saiful
Mahasiswa PPs UNM

Comment