Ditulis Oleh: Taufikurrahman, Mahasiswa Pascasarjana Unhas, Jurusan Ilmu Pemerintahan
Netral.co.id – Wacana pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa kembali menggema di tengah ketimpangan pembangunan antara wilayah timur dan barat Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Dengan mengusung dalih pemerataan, aspirasi ini menjanjikan percepatan pembangunan, peningkatan kesejahteraan, dan penguatan identitas kedaerahan. Namun pertanyaannya, benarkah pemekaran ini akan menjadi solusi, atau justru menambah kompleksitas tata kelola daerah?
Pulau Sumbawa memang kaya sumber daya alam, khususnya sektor pertambangan yang selama ini menjadi urat nadi ekonomi di Kabupaten Sumbawa Barat dan Dompu. Tambang emas, tembaga, dan mineral lainnya telah lama menyumbang pemasukan signifikan bagi NTB. Maka tidak mengherankan jika ada dorongan agar hasil bumi tersebut dikelola lebih dekat oleh “pribumi” melalui pembentukan provinsi baru. Narasinya sederhana: dengan menjadi provinsi sendiri, Sumbawa bisa menikmati kue pembangunan secara lebih utuh.
Baca Juga: Provinsi Pulau Sumbawa: Jalan Terang Otonomi atau Lorong Gelap Beban Baru?
Namun, narasi pemekaran sering kali terjebak pada romantisme otonomi. Fakta menunjukkan bahwa tak sedikit provinsi baru hasil pemekaran justru terjebak pada stagnasi dan konflik kepentingan lokal, terutama soal perebutan akses terhadap sumber daya. Alih-alih menjadi kendaraan kemajuan, pemekaran bisa menjelma arena persaingan elit, birokratisasi yang membengkak, dan tata kelola yang justru lebih rentan korupsi.
Apalagi sektor tambang bukan tanpa masalah. Di balik angka PAD yang menjanjikan, tersimpan kerusakan ekologis, konflik agraria, dan ketimpangan pendapatan yang menganga. Jika tidak disertai dengan tata kelola yang transparan dan akuntabel, pemekaran justru membuka ruang lebih besar bagi eksploitasi sumber daya tanpa pengawasan yang memadai.
Di sinilah letak tantangan strategisnya: apakah provinsi baru ini siap mengelola kekayaan alamnya tanpa mengulang kesalahan masa lalu? Apakah ada roadmap yang jelas untuk transisi ekonomi dari ketergantungan tambang menuju sektor produktif seperti pertanian, peternakan, dan pariwisata? Atau pemekaran ini hanya akan memperpanjang usia model ekonomi ekstraktif yang rapuh dan eksploitatif?
Lebih penting lagi, siapa yang akan paling diuntungkan dari pemekaran ini? Masyarakat luas atau justru sekelompok elit lokal yang selama ini berada di lingkar kekuasaan? Jika yang terjadi adalah yang kedua, maka pemekaran hanyalah daur ulang dari politik distribusi kekuasaan yang makin menjauhkan masyarakat dari janji kesejahteraan.
Penutup
Pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa seharusnya menjadi momentum refleksi, bukan sekadar proyek politik. Ia harus menjawab kebutuhan riil masyarakat, bukan sekadar ambisi elit daerah. Tanpa visi pembangunan jangka panjang yang berkeadilan dan berkelanjutan, pemekaran hanya akan menjadi kemasan baru dari ketimpangan lama. Maka, pertanyaan kritisnya: apakah kita sedang membentuk provinsi untuk rakyat, atau sekadar membangun kekuasaan dalam nama rakyat?
Comment