Netral.co.id, Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendapat gelombang kritik setelah merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
Dalam revisi tersebut, DPR menambahkan Pasal 228A, yang memungkinkan lembaga legislatif itu mengevaluasi pejabat negara serta memberikan rekomendasi bersifat mengikat.
Sejumlah pihak menilai bahwa jika DPR merekomendasikan pencopotan seorang pejabat negara, maka lembaga terkait wajib menjalankan rekomendasi tersebut.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa DPR dapat mencampuri urusan internal lembaga negara lain, yang seharusnya berada di luar wewenangnya.
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menilai revisi ini berpotensi berdampak luas, tidak hanya dalam pemilihan pimpinan lembaga tinggi negara sesuai keinginan DPR, tetapi juga dari segi konsep hukum yang dianggap keliru.
“Bagi saya, revisi Tata Tertib DPR ini bukan sekadar soal like and dislike. Secara konseptual, ini salah,” ujar Bivitri saat dihubungi, Rabu 5 Febuari 2025.
Baca Juga : KJRI Jeddah Klarifikasi Keterlambatan Pemakaman Jenazah Jamaah Umrah Selama 7 Hari
Ia menjelaskan bahwa setelah seorang hakim atau komisioner terpilih, mereka seharusnya tunduk pada aturan lembaga tinggi negara yang menaunginya, bukan pada DPR.
Oleh karena itu, DPR tidak memiliki kewenangan untuk mencopot pejabat tersebut secara sepihak.
IPW: Revisi Tatib DPR ‘Ngaco’
Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, turut mengkritik revisi tersebut.
Menurutnya, perubahan aturan ini tidak sesuai dengan batasan yurisdiksi DPR dan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan.
“Menurut IPW, ini ngaco! Kita harus memahami bahwa kekuatan hukum tata tertib DPR hanya berlaku di internal DPR RI dalam mengatur mekanisme kerja mereka,” tegas Sugeng, Rabu (5/2/2025).
Sugeng menambahkan bahwa jika DPR merasa ada pejabat tinggi negara yang perlu dievaluasi, seperti Jaksa Agung atau Kapolri, maka seharusnya rekomendasi disampaikan kepada Presiden, bukan ditindaklanjuti secara langsung oleh DPR.
Ia juga menyoroti bahwa aturan ini berpotensi menjadikan evaluasi terhadap pejabat negara lebih bersifat politis daripada objektif.
Meskipun DPR memiliki hak untuk memberikan rekomendasi kepada mitra kerjanya, Sugeng menegaskan bahwa keputusan terkait pencopotan pejabat negara tetap berada di tangan lembaga eksekutif sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku.
Comment