Netral.co.id, Jakarta – Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Republik Indonesia, Kasdi Subagyono kritik kebijakan Kementerian Keuangan RI, Sri Mulyani terkait tarif cukai 23 persen.
“Anjloknya harga tembakau berawal dari kebijakan menteri keuangan yang menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar 23% per 1 januari 2020,” tegas Kasdi Subagyono seperti yang dilansir dari Kompas.com, Sabtu 6 November 2022.
Menurut dia, kebijakan tersebut akan turun sekitar 10 persen pada tahun 2023-2024 mendatang. “Kebijakan baru biaya tarif cukai di tahun 2023-2024 di perkirakan sebesar 10%,” lanjutnya.
Hal tersebut berdasarkan informasi hasil rapat terbatas Presiden dan beberapa menteri tentang kenaikan cukai menuai perdebatan.
Bagaimana tidak, bila cukai di naikkan dengan alasan untuk meminimalisir pengguna rokok di bawah umur, lalu bagaimana dampaknya di hadapan petani tembakau.
“Tembakau merupakan sumber pendapatan negara yang terhitung banyak dari pada industri pangan lainya, keterlibatan petani tembakau begitu penting di balik pendapatan negara lewat pajak rokok,” jelasnya.
Menurut dia, fungsi cukai adalah mengawasi, mengendalikan produksi barang, serta membatasi distribusi barang-barang yang di anggap berdampak negatif bagi masyarakat.
“Jadi fungsi cukai, memberi batasan tersendiri pada produksi barang-barang yang terkena biaya demi terjaganya stabilitas masyarakat,”katanya.
“Petani di Probolinggo Jawa Timur mengeluh atas harga tembakau yang turun drastis, hingga ada aksi pencabutan tembakau sebagai bentuk perlawanan atas anjloknya harga tembakau,” lanjutnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani menjelaskan, tarif cukai akan jatuh pada angka 10 persen pada tahun 2023-2024.
“Tarif cukai di tahun 2023-2024 jatuh di angka 10%, hal ini berdasarkan pendataan konsumsi rokok sebagian besarnya anak-anak di bawah umur,” ungkapnya.
“Tarif cukai di tetapkan tiap tahun dan di atur oleh Undang-Undang APBN tahun 2023 termasuk di tetapkan target pendapatannya,” tutupnya.
Comment