Denpasar, Netral.co.id – Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali yang melarang produksi dan distribusi air minum dalam kemasan di bawah satu liter, sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2025, menuai pro dan kontra di kalangan pelaku usaha dan masyarakat.
Meski mendapat dukungan dari Pemerintah Pusat, sejumlah pihak menyuarakan kekhawatiran atas dampak kebijakan ini terhadap perekonomian lokal dan kebiasaan konsumsi masyarakat.
Ketua Asosiasi Pengusaha Air Minum Kemasan Bali, Made Suryanto, mengungkapkan bahwa larangan ini dapat mengganggu rantai pasok dan operasional usaha kecil menengah (UKM) yang bergantung pada penjualan air minum kemasan ukuran kecil.
“Kemasan di bawah satu liter, seperti 330 ml atau 600 ml, sangat diminati wisatawan dan masyarakat karena praktis dan terjangkau. Jika ini dilarang, omzet kami bisa turun drastis,” ujarnya, Sabtu 12 April 2025.
Menurut Made, pelaku usaha membutuhkan waktu dan investasi besar untuk beralih ke kemasan ramah lingkungan atau ukuran lebih besar, sementara panduan teknis dari pemerintah masih dirasa kurang jelas.
Baca Juga : Dua Putra Sulsel Bersaing di Survei Busrah Pilpres 2024
Ia juga mempertanyakan kesiapan infrastruktur daur ulang di Bali untuk mendukung kebijakan ini. “Kami mendukung lingkungan bersih, tapi harus ada solusi konkret agar usaha tidak mati,” tambahnya.
Di sisi masyarakat, sejumlah warga menyampaikan keresahan atas potensi kenaikan harga air minum. Ni Luh Putu, pedagang di Pasar Kumbasari, Denpasar, mengatakan air kemasan kecil adalah pilihan ekonomis bagi pembeli dengan daya beli rendah.
“Kalau hanya ada kemasan besar, harganya pasti lebih mahal. Ini bisa memberatkan pelanggan saya,” katanya.
Analis kebijakan lingkungan dari Universitas Udayana, Dr. I Made Sudarma, menilai kebijakan ini berpotensi efektif mengurangi sampah plastik, namun implementasinya harus diimbangi dengan sosialisasi masif dan insentif bagi pelaku usaha.
Baca Juga : Dekranasda Sulsel Kembali Ikut Event INACRAFT 2025
“Tanpa edukasi yang cukup, masyarakat bisa beralih ke alternatif yang justru lebih merusak lingkungan, seperti botol plastik sekali pakai yang tidak terdeteksi,” ujarnya.
Meski demikian, Pemerintah Provinsi Bali tetap optimistis. Juru Bicara Pemprov Bali, I Wayan Adi Putra, menegaskan bahwa kebijakan ini tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha, melainkan mendorong inovasi.
“Kami sedang menyiapkan skema pendampingan dan pelatihan untuk pelaku usaha agar beralih ke kemasan yang lebih ramah lingkungan,” katanya.
Kebijakan ini juga memicu diskusi tentang keseimbangan antara pelestarian lingkungan dan stabilitas ekonomi lokal.
Sejumlah pihak berharap pemerintah dapat membuka ruang dialog lebih luas dengan pelaku usaha dan masyarakat untuk memastikan kebijakan ini berjalan tanpa menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan.
Comment