Makna Kata Anak Sundala dalam Konteks Budaya Sulawesi Selatan

Masjid Kubah 99 Asmaul Husna

Masjid Kubah 99 Asmaul Husna. (Dok.Ist)

Netral.co.id – Di tengah dinamika bahasa dan budaya lokal, kata “anak sundala” menjadi salah satu frasa yang kerap mencuri perhatian di Sulawesi Selatan, khususnya dalam dialek Makassar.

Frasa ini, meskipun sering terdengar dalam percakapan sehari-hari, memiliki makna yang sarat dengan konotasi negatif dan sensitivitas sosial.

Dalam ulasan ini, kita akan menelusuri makna, konteks penggunaan, serta implikasi budaya dari frasa tersebut dengan pendekatan yang objektif dan sesuai kaidah jurnalistik.

Secara harfiah, “anak sundala” merupakan gabungan dari kata “ana” (yang berarti “anak” dalam bahasa Makassar) dan “sundala”. Kata “sundala” sendiri memiliki akar makna yang merujuk pada istilah kasar, sering kali diartikan sebagai “pelacur” atau “wanita jalang” dalam bahasa Indonesia.

Dengan demikian, “anak sundala” dapat diterjemahkan sebagai “anak pelacur” atau dalam beberapa konteks dianggap sebagai “anak haram”.

Makna ini menjadikan frasa tersebut sebagai umpatan yang sangat ofensif, terutama jika diucapkan dalam situasi yang tidak tepat atau kepada pihak yang tidak dikenal.

Baca Juga : Makna dan Arti Kata “Kongkong” dalam Bahasa Indonesia

Namun, menarik untuk dicatat bahwa penggunaan “sundala” dan turunannya seperti “anak sundala” dalam masyarakat Sulawesi Selatan tidak selalu bermaksud menghina secara serius.

Dalam lingkaran pertemanan yang akrab, frasa ini kadang-kadang digunakan sebagai bentuk candaan atau guyonan untuk menciptakan suasana santai.

Fenomena ini mencerminkan bagaimana bahasa lokal dapat mengalami pergeseran makna, di mana kata yang awalnya kasar menjadi lebih lunak dalam konteks tertentu. Meski begitu, penggunaannya tetap sangat bergantung pada hubungan antar pembicara.

Jika diucapkan kepada orang yang tidak dikenal atau dalam situasi formal, frasa ini dapat memicu konflik serius, bahkan kemarahan yang mendalam.

Secara historis, “sundala” mulai dikenal luas di Sulawesi Selatan sejak awal 1990-an, awalnya digunakan untuk menyebut kelompok tertentu seperti waria atau individu dengan penampilan yang dianggap menyimpang dari norma sosial saat itu.

Seiring waktu, penggunaannya meluas dan menjadi bagian dari kosakata umpatan yang lebih umum.

Penambahan kata “ana” memperkuat tingkat kekasaran, karena frasa ini tidak hanya menyinggung individu yang dituju, tetapi juga mengarah pada asal-usul atau keluarganya, yang dalam budaya Makassar dianggap sangat sensitif.

Baca Juga :Mengenal Makna dan Arti Sundala di Sulawesi Selatan

Dari perspektif budaya, penggunaan “anak sundala” mencerminkan kompleksitas nilai-nilai lokal, khususnya konsep siri’ (harga diri) yang sangat dijunjung tinggi di masyarakat Sulawesi Selatan.

Mengucapkan frasa ini sembarangan bisa dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap siri’ seseorang, yang dalam beberapa kasus dapat memicu reaksi emosional atau bahkan kekerasan.

Oleh karena itu, penting bagi siapa pun, terutama mereka yang bukan berasal dari daerah tersebut, untuk memahami konteks dan batasan penggunaan frasa ini.

Di era media sosial, “anak sundala” sempat menjadi viral, terutama di platform seperti TikTok, di mana kata ini muncul dalam konten-konten yang kadang bernada canda, namun sering kali memicu perdebatan.

Popularitasnya di dunia maya menunjukkan bagaimana bahasa lokal dapat menyebar luas, tetapi juga menimbulkan risiko penyalahgunaan oleh mereka yang tidak memahami makna sebenarnya.

Hal ini menggarisbawahi pentingnya literasi budaya dalam berkomunikasi, terutama di ruang digital yang cenderung mengaburkan batas-batas sensitivitas.

Sebagai penutup, frasa “anak sundala” adalah cerminan dari dinamika bahasa dan budaya di Sulawesi Selatan.

Meskipun dalam beberapa konteks dapat digunakan secara ringan antar teman dekat, makna aslinya yang kasar dan ofensif menuntut kehati-hatian dalam pengucapan.

Dalam semangat menjaga harmoni sosial, memahami konteks budaya dan sensitivitas lokal menjadi kunci untuk menghindari kesalahpahaman.

Bahasa adalah cermin identitas, dan dengan memahami makna di balik kata-kata seperti “anak sundala”, kita dapat lebih menghargai kekayaan sekaligus kompleksitas budaya Sulawesi Selatan.

Comment