Jakarta, Netral.co.id – Nama Wilmar Group kembali menjadi sorotan publik setelah terlibat dalam pemeriksaan oleh Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri terkait dugaan pengoplosan beras.
Pemeriksaan ini dilakukan menyusul laporan Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, yang menemukan indikasi kuat kecurangan dalam distribusi beras premium di pasaran.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar, menyatakan bahwa proses hukum terhadap Wilmar akan sangat bergantung pada temuan alat bukti oleh kepolisian. Apabila terdapat cukup bukti pelanggaran hukum, perusahaan dapat diproses hingga ke tahap penuntutan.
“Sepanjang ada indikasi melawan hukum, maka harus tetap dituntut. Tapi, kalau tidak, kita harus pertanyakan apakah ada agenda lain,” ujar Ficar kepada media, Jumat 11 Juli 2025.
Ficar menjelaskan bahwa meski Wilmar tengah berhadapan dengan kasus hukum lainnya terkait ekspor minyak sawit mentah (CPO), status hukum perkara tersebut masih dalam tahap kasasi di Mahkamah Agung. Karena itu, belum ada dasar hukum untuk menjatuhkan sanksi pencabutan izin usaha secara langsung.
Namun, Ficar menegaskan bahwa dugaan keterlibatan Wilmar dalam dua kasus besar ini telah mencoreng citra korporasi di mata publik.
“Secara yuridis memang belum memberatkan, tapi secara sosiologis ini jelas menjadi catatan hitam dalam eksistensinya di dunia usaha,” imbuhnya.
Ia juga menambahkan bahwa pencabutan izin usaha bisa dilakukan melalui jalur lain, yakni melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Jika Wilmar terbukti melanggar UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, KPPU dapat merekomendasikan pencabutan izin usaha kepada instansi terkait.
“Putusan KPPU bisa menjadi dasar untuk mencabut izin jika ditemukan pelanggaran berat yang membahayakan sektor usaha,” kata Ficar.
Sebelumnya, Brigjen Helfi Assegaf selaku Dirtipideksus Bareskrim Polri menyatakan bahwa pihaknya sedang memeriksa empat produsen yang diduga melakukan pelanggaran mutu dan takaran dalam distribusi beras.
Keempat perusahaan tersebut adalah Wilmar Group (WG), Food Station Tjipinang Jaya (FSTJ), Belitang Panen Raya (BPR), dan Sentosa Utama Lestari (SUL) yang berada di bawah naungan Japfa Group.
Wilmar Group diperiksa terkait tiga merek andalannya, yakni Sania, Sovia, dan Fortune, dengan pengambilan sampel dari wilayah Aceh, Lampung, Sulawesi Selatan, Yogyakarta, dan Jabodetabek.
Merek lain yang diperiksa dari FSTJ meliputi Alfamidi Setra Pulen, Beras Premium Setra Ramos, dan beberapa varian lain. Produk BPR seperti Raja Platinum dan Raja Ultima juga ikut diselidiki. Sementara SUL/Japfa diperiksa berdasarkan sampel dari Yogyakarta dan Jabodetabek.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Wilmar belum memberikan pernyataan resmi. Upaya konfirmasi kepada Asisten Manajer Public Relations PT Wilmar Nabati Indonesia, Alina Musta’idah, belum mendapatkan tanggapan.
Laporan atas dugaan praktik pengoplosan ini berawal dari investigasi Kementerian Pertanian terhadap 268 merek beras, yang mengungkap bahwa 85,56 persen beras premium tidak sesuai mutu, 59,78 persen dijual di atas harga eceran tertinggi (HET), dan 21 persen tidak sesuai berat kemasan. “Ini sangat merugikan masyarakat,” tegas Menteri Amran, Jumat 22 Juni 2025.
Ia menambahkan, anomali harga ini terjadi di tengah tingginya produksi beras nasional, yang berdasarkan data FAO diprediksi mencapai 35,6 juta ton pada periode 2025/2026—melampaui target nasional 32 juta ton.
Amran memperkirakan potensi kerugian konsumen akibat praktik curang ini bisa mencapai Rp99 triliun. “Kalau dulu harga naik karena stok menipis, sekarang stok melimpah, harga tetap tinggi. Ini indikasi kuat adanya penyimpangan,” pungkasnya.
Comment