Petrus: Luka Lama Penembakan Misterius yang Tak Kunjung Sembuh

Puluhan tahun berlalu sejak peristiwa Penembakan Misterius atau Petrus mengguncang Indonesia pada era Orde Baru. Namun, hingga kini, banyak keluarga korban masih menantikan kejelasan, pengakuan, dan keadilan. Peristiwa yang berlangsung antara tahun 1983 hingga 1985 ini tak hanya menorehkan catatan kelam dalam sejarah penegakan hukum, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi masyarakat.

Ilustrasi Petrus, peristiwa kelam bangsa Indonesia pada kisaran tahun 1980-an. (Foto: dok)

Jakarta, Netral.co.id – Puluhan tahun berlalu sejak peristiwa Penembakan Misterius atau Petrus mengguncang Indonesia pada era Orde Baru. Namun, hingga kini, banyak keluarga korban masih menantikan kejelasan, pengakuan, dan keadilan. Peristiwa yang berlangsung antara tahun 1983 hingga 1985 ini tak hanya menorehkan catatan kelam dalam sejarah penegakan hukum, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi masyarakat.

Pada awal dekade 1980-an, Indonesia, khususnya kota-kota besar seperti Jakarta dan Yogyakarta, dicekam rasa takut. Mayat-mayat tak dikenal ditemukan tergeletak di pinggir jalan, di selokan, bahkan di tempat umum. Korban-korban ini rata-rata mengalami luka tembak di kepala dan dada penembakan yang dilakukan secara rapi dan sistematis. Publik segera mengenalnya sebagai korban “Petrus”.

Dibalik Layar Operasi Rahasia

Petrus merupakan akronim dari “Penembakan Misterius”sebuah operasi senyap yang dilaksanakan dengan dalih pemberantasan kriminalitas. Target utamanya adalah preman, residivis, dan pelaku kriminal jalanan. Namun, tidak sedikit yang ditangkap dan dieksekusi tanpa proses hukum yang adil, bahkan tanpa tuduhan resmi.

Baca Juga:Tragedi Mei 1998: Luka Kolektif Bangsa yang Belum Sembuh

Presiden Soeharto kala itu menyampaikan keprihatinannya terhadap lonjakan angka kejahatan dalam pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1982. Tak lama berselang, dalam Rapat Pimpinan ABRI Maret 1982, ia meminta tindakan nyata dari aparat keamanan. Menanggapi hal ini, Pangkopkamtib Laksamana Soedomo mengadakan rapat koordinasi lintas lembaga, yang menjadi titik awal dari pelaksanaan Operasi Petrus.

Operasi pertama dilakukan di Yogyakarta pada awal 1983. Komandan Kodim setempat, Letkol M. Hasbi, secara terbuka mengakui keterlibatannya dalam operasi tersebut, yang disebut sebagai upaya “membersihkan” kota dari aksi premanisme.

Yang membuat masyarakat semakin gentar adalah strategi shock and awe mayat korban sengaja dibiarkan terbuka di ruang publik sebagai pesan intimidatif. Banyak preman menyerahkan diri, melarikan diri ke luar kota, atau memilih menghilang.

Korban, Keheningan, dan Pelanggaran HAM

Menurut data yang dikutip dari Kompas, sedikitnya 532 orang tewas di tempat, dan 367 lainnya meninggal dunia akibat luka tembak, menjadikan total korban jiwa lebih dari 900 orang. Hingga hari ini, negara belum pernah secara resmi menetapkan siapa yang bertanggung jawab atas operasi tersebut. Tidak ada proses pengadilan, tidak ada investigasi tuntas, dan tidak ada pertanggungjawaban.

Komnas HAM mengkategorikan Petrus sebagai pelanggaran HAM berat. Menurut Komisioner Beka Ulung Hapsara, operasi ini melibatkan praktik penyiksaan, penghilangan nyawa tanpa proses hukum, dan dilakukan secara sistematis oleh aparat negara ciri khas pelanggaran HAM berat menurut hukum internasional.

Komnas HAM sendiri telah memulai investigasi sejak tahun 2008. Namun, penyelidikan kerap terhambat karena minimnya kerja sama dari pihak militer dan kepolisian, terutama purnawirawan yang menolak memberikan kesaksian.

Warisan Ketakutan dan Kebutuhan Akan Rekonsiliasi

Petrus menjadi bab kelam dalam sejarah Indonesia yang belum ditutup. Banyak keluarga korban hidup dalam diam dan ketidakpastian. Upaya pengungkapan fakta kerap kandas di tengah jalan, dan tak ada kejelasan apakah negara akan mengambil langkah nyata menuju rekonsiliasi atau pertanggungjawaban.

Peristiwa ini bukan sekadar angka statistik atau catatan sejarah ia adalah refleksi dari bagaimana negara pernah memperlakukan warganya di luar jalur hukum. Bagi sebagian besar masyarakat, luka Petrus bukan hanya tentang masa lalu, tapi juga tentang masa depan: apakah keadilan masih mungkin ditegakkan?

Comment