Jakarta, Netral.co.id – Guru Besar Universitas Pertahanan (Unhan), Kolonel Sus Prof Dr Drs Mhd. Halkis MH, mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Permohonan uji materi ini didaftarkan oleh kuasa hukumnya, Izmi Waldani dan Bagas Al Kautsar, dengan Nomor Registrasi 41/PAN.ONLINE/2025.
UU TNI Dinilai Mengekang Hak Prajurit
Menurut Mhd. Halkis, UU TNI saat ini membatasi hak-hak prajurit yang juga merupakan warga negara, sehingga bertentangan dengan konstitusi.
“UU TNI ini mengekang hak prajurit sebagai warga negara, sehingga perlu diuji kembali kesesuaiannya dengan konstitusi,” ujar Halkis, Minggu (16/3/2025), dikutip dari Antaranews.
Kritik terhadap Definisi Profesionalisme Militer dalam UU TNI
Dalam permohonannya, Halkis menyoroti Pasal 2 huruf d UU TNI, yang mendefinisikan tentara profesional sebagai prajurit yang:
- Terlahir, terdidik, dan diperlengkapi secara baik
- Tidak berpolitik praktis
- Tidak berbisnis
- Dijamin kesejahteraannya
Halkis menilai definisi ini cacat logika karena hanya berisi larangan, tanpa menjelaskan secara positif apa itu profesionalisme militer.
Baca Juga : DPR dan Pemerintah Bahas Revisi UU TNI Tertutup di Hotel Hingga Malam
“Profesionalisme militer harus dimaknai secara positif, yakni sebagai prajurit yang netral, berbasis kompetensi, dan memiliki hak dalam aspek ekonomi serta jabatan publik,” tegasnya.
Prajurit TNI Dilarang Berbisnis, Bertentangan dengan Konstitusi?
Halkis juga mengkritik Pasal 39 ayat (3) UU TNI, yang melarang prajurit untuk berbisnis.
Menurutnya, larangan ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Ia membandingkan dengan Amerika Serikat dan Jerman, di mana prajurit boleh memiliki usaha dengan mekanisme pengawasan yang jelas.
Baca Juga : Kantor KontraS Diteror Usai Geruduk Hotel Tempat Pembahasan RUU TNI
“Prajurit mengalami ketimpangan ekonomi akibat larangan ini, terutama pasca-pensiun. Jika larangan tetap berlaku, negara wajib memberikan jaminan ekonomi yang layak bagi prajurit,” ujarnya.
Batasan Jabatan Sipil bagi TNI Dinilai Tidak Adil
Halkis juga mempermasalahkan Pasal 47 ayat (2) UU TNI, yang membatasi jabatan sipil bagi prajurit aktif hanya pada tujuh instansi, seperti:
- Kemenko Polhukam
- BIN
- Lemhannas
- BNN
Menurutnya, aturan ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, yang menjamin kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
“Banyak jabatan sipil yang memerlukan keahlian teknokratis dari prajurit TNI, seperti di Kementerian Pendidikan atau Kementerian Luar Negeri, tetapi aturan ini membatasi kesempatan mereka,” katanya.
Permohonan Halkis: Reformasi UU TNI Melalui MK
Dalam petitumnya, Halkis meminta MK untuk:
- Meninjau ulang definisi tentara profesional agar tidak hanya berisi larangan tetapi juga kejelasan hak-hak prajurit.
- Menghapus larangan prajurit berbisnis atau memberikan jaminan kesejahteraan yang lebih baik bagi mereka.
- Memperluas kesempatan karier prajurit TNI dalam jabatan sipil berdasarkan kompetensi, bukan sekadar instansi tertentu.
“Reformasi UU TNI melalui MK dapat menjadi dasar revisi UU TNI yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman dan menjadi preseden penting bagi reformasi ketatanegaraan Indonesia,” pungkasnya.
Seperti diketahui, DPR saat ini sedang mengebut pembahasan revisi UU TNI, yang mencakup batas usia pensiun, perluasan tugas TNI, dan penambahan jabatan sipil bagi perwira aktif.
Namun, pembahasan ini menuai kritik karena dilakukan secara tertutup di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, pada 14-15 Maret 2025.
Comment