Jakarta, Netral.co.id – Indonesia resmi menghadapi tarif impor sebesar 32 persen dari Amerika Serikat (AS) menyusul pengumuman kebijakan tarif resiprokal oleh Presiden AS, Donald Trump, pada 2 April 2025.
Kebijakan ini, yang disebut Trump sebagai “Hari Pembebasan” ekonomi AS, menargetkan sejumlah negara mitra dagang, termasuk Indonesia, dengan tujuan melindungi industri dalam negeri dan mengurangi defisit perdagangan AS.
Dalam pidatonya di Rose Garden, Gedung Putih, Trump menyatakan bahwa tarif ini merupakan respons terhadap kebijakan perdagangan yang dianggap tidak adil oleh negara-negara mitra, termasuk Indonesia.
Berdasarkan data Gedung Putih, Indonesia dikenakan tarif 32 persen karena dianggap menerapkan tarif impor hingga 64 persen terhadap produk AS, seperti etanol, serta memberlakukan kebijakan nontarif seperti Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan perizinan impor yang kompleks.
Baca Juga : Presiden Prabowo Kirim Tim Lobi Tingkat Tinggi ke Amerika Serikat Soal Ini
Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Budi Santoso, dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (4/4/2025), mengatakan pemerintah tengah menghitung dampak kebijakan ini terhadap sektor ekspor.
“Kami sedang mengkaji secara mendalam. Ekspor kita ke AS, seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik, berpotensi terdampak signifikan. Namun, kami akan merespons dengan langkah strategis,” ujarnya.
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan, AS merupakan salah satu pasar ekspor utama Indonesia dengan surplus perdagangan nonmigas mencapai 16,08 miliar dolar AS pada 2024.
Pengenaan tarif ini dikhawatirkan akan mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar AS, yang dapat berdampak pada penurunan ekspor dan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor industri.
Baca Juga : Presiden Donald Trump Larang Warga Negara Muslim Masuk Amerika Serikat
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya Novyan Bakrie, menyatakan bahwa kebijakan ini menjadi tantangan besar bagi pelaku usaha.
“Kami meminta pemerintah segera membuka dialog dengan AS untuk mencari solusi. Diplomasi dagang harus diutamakan agar dampaknya tidak semakin berat,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Jumat malam.
Sementara itu, ekonom senior Permata Bank, Josua Pardede, memprediksi tekanan pada nilai tukar rupiah dan pasar saham akibat kebijakan ini.
“Rupiah bisa melemah ke kisaran Rp 15.900-16.000 per dolar AS dalam waktu dekat, dan IHSG berpotensi turun 2-3 persen pasca-libur Idulfitri,” ungkapnya dalam wawancara terpisah.
Pemerintah Indonesia berencana mengirimkan delegasi ke Washington DC untuk bernegosiasi dengan pemerintah AS.
Selain itu, komunikasi dengan negara-negara ASEAN, seperti Malaysia selaku Ketua ASEAN 2025, juga tengah dilakukan untuk menyusun respons kolektif.
“Kami akan memperjuangkan kepentingan nasional sambil menjaga stabilitas ekonomi,” tegas Mendag Budi.
Kebijakan tarif ini akan mulai berlaku efektif pada 9 April 2025. Pemerintah dan pelaku usaha kini berada dalam posisi siaga untuk mengantisipasi dampak jangka pendek maupun panjang terhadap perekonomian nasional.
Comment