KPK Nilai RUU KUHAP Melemahkan Upaya Pemberantasan Korupsi, 17 Poin Jadi Sorotan

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto, menyampaikan keprihatinannya terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang saat ini tengah dibahas di DPR RI.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto. (Foto: dok)

Jakarta, Netral.co.id – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto, menyampaikan keprihatinannya terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang saat ini tengah dibahas di DPR RI. Menurut Setyo, sejumlah ketentuan dalam draf revisi tersebut berpotensi melemahkan kewenangan KPK dalam menjalankan fungsi pemberantasan tindak pidana korupsi.

“Ada potensi yang bisa berpengaruh terhadap pengurangan tugas, fungsi, dan kewenangan KPK,” ujar Setyo dalam keterangannya, Jumat (18/7/2025).

Untuk menyikapi hal tersebut, KPK telah menggelar diskusi kelompok terpumpun (FGD) bersama sejumlah pakar hukum dan telah menjalin komunikasi dengan Kementerian Hukum dan HAM guna membahas substansi RUU KUHAP.

Setyo juga menyoroti pentingnya sinkronisasi antara batang tubuh dan ketentuan peralihan dalam draf RUU agar tidak menimbulkan bias hukum. Ia mengingatkan bahwa ketentuan terkait upaya paksa, seperti penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan, sebaiknya tidak disyaratkan melalui pihak lain demi efektivitas pemberantasan korupsi.

“RUU KUHAP justru seharusnya menguatkan pemberantasan korupsi, bukan sebaliknya,” tegas Setyo.

Saat ini, RUU KUHAP masih dalam tahap pembahasan di Komisi III DPR RI. Sebelumnya, sebanyak 1.676 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) telah dirampungkan dan pada Senin (21/7/2025) mendatang dijadwalkan penyerahan hasil kerja Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi kepada Panitia Kerja (Panja).

KPK, melalui juru bicara Budi Prasetyo, mencatat setidaknya ada 17 isu dalam draf RUU KUHAP yang dinilai tumpang tindih atau bahkan bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Berikut 17 poin yang menjadi sorotan:

  1. Hilangnya kedudukan lex specialis UU KPK dalam RUU KUHAP.
  2. Pembatasan penyelesaian perkara KPK hanya berdasarkan KUHAP.
  3. Pengabaian status penyelidik KPK yang tidak diakui dalam RUU.
  4. Definisi penyelidikan berbeda dengan ketentuan dalam UU KPK.
  5. Keterangan saksi tidak diakui sejak tahap penyelidikan.
  6. Penetapan tersangka terbatas pada dua alat bukti di penyidikan.
  7. Penyidikan tidak bisa dihentikan tanpa campur tangan penyidik Polri.
  8. Pelimpahan perkara harus melalui penyidik Polri.
  9. Penggeledahan wajib didampingi penyidik Polri wilayah setempat.
  10. Penyitaan memerlukan izin Ketua PN, bertentangan dengan ketentuan KPK.
  11. Penyadapan hanya diperbolehkan saat penyidikan, bukan sejak penyelidikan.
  12. Larangan bepergian hanya berlaku bagi tersangka.
  13. Proses persidangan tidak bisa dimulai sebelum praperadilan selesai.
  14. Kewenangan KPK atas perkara koneksitas tidak diatur.
  15. Perlindungan saksi hanya diberikan oleh LPSK.
  16. Penuntutan di luar yurisdiksi hanya dapat dilakukan lewat penunjukan Jaksa Agung.
  17. Penuntut umum dibatasi hanya untuk jaksa, tanpa menyebut pejabat KPK.

Budi menegaskan bahwa 17 poin tersebut masih dalam tahap diskusi internal dan akan terus dikaji untuk diperjuangkan dalam proses legislasi. KPK berharap masukan tersebut dapat dijadikan pertimbangan oleh DPR RI dalam menyusun undang-undang yang tidak justru melemahkan lembaga antirasuah.

Comment