Perludem: Suka atau Tidak, DPR dan Pemerintah Wajib Tindaklanjuti Putusan MK soal Pemilu Terpisah

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal bersifat final dan mengikat. Oleh karena itu, menurutnya, DPR dan pemerintah tidak punya pilihan selain menindaklanjuti putusan tersebut melalui revisi regulasi.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini. (Foto: dok

Jakarta, Netral.co.id – Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal bersifat final dan mengikat. Oleh karena itu, menurutnya, DPR dan pemerintah tidak punya pilihan selain menindaklanjuti putusan tersebut melalui revisi regulasi.

“Tindak lanjut putusan MK kami serahkan kepada pembentuk undang-undang. Tentu, kami berharap DPR dan pemerintah segera menindaklanjutinya. Putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga wajib dilaksanakan,” ujar Titi dalam sebuah diskusi yang digelar Fraksi PKB di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (4/7/2025).

Dosen Hukum Pemilu Universitas Indonesia itu menjelaskan, gagasan pemisahan pemilu sebenarnya bukan hal baru.

Ia mengungkapkan bahwa ide tersebut pernah diulas oleh Badan Keahlian DPR dan bahkan sempat diwacanakan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020. Namun, pada 2021, RUU Pemilu dicabut dari prolegnas dan tak kunjung dibahas hingga Pemilu 2024 selesai.

Perludem kemudian mengajukan uji materi ke MK, dan hasilnya, melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK memutuskan bahwa pemilu nasional dan lokal harus diselenggarakan secara terpisah. Pemilu nasional yang mencakup pemilihan presiden/wakil presiden, DPR, dan DPD akan digelar lebih dahulu, diikuti pemilu daerah untuk DPRD serta kepala daerah dalam rentang waktu 2 hingga 2,5 tahun setelahnya.

Titi juga mendorong pembentuk undang-undang untuk segera membahas revisi terhadap UU Pemilu dan UU Pilkada secara menyeluruh menggunakan pendekatan kodifikasi. Menurutnya, perhatian khusus perlu diberikan pada transisi masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD.

“Ada dua cara untuk mengatasi masa transisi: memperpanjang masa jabatan atau menunjuk penjabat kepala daerah,” kata Titi.

Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan judicial review yang diajukan oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Irmalidarti. MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, jika tidak dimaknai sebagai pemisahan waktu antara pemilu nasional dan lokal.

Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan amar putusan menyampaikan bahwa pemilu nasional dan lokal harus dilaksanakan secara serentak namun dalam waktu berbeda, dengan jarak minimal dua tahun dan maksimal dua setengah tahun.

Comment