Pemekaran Pulau Sumbawa: Aspirasi yang Ditahan oleh Kalkulator Fiskal

Nasional Politik (NasPol) NTB mendesak aparat penegak hukum segera mengusut tuntas dugaan praktik bagi-bagi uang yang diduga melibatkan sejumlah anggota DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB), termasuk Ketua DPRD NTB. NasPol menilai, dugaan penyimpangan ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat rakyat.

Pengurus NasPol Koordinator Wilayah Makassar Raya. (Foto: Netral.co.id/F.R)

Netral.co.id – Wacana pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa telah mengemuka sejak lebih dari satu dekade lalu. Aspirasi ini bukan sekadar keinginan untuk memisahkan diri dari Nusa Tenggara Barat (NTB), tetapi merupakan panggilan atas keinginan rakyat untuk mendapatkan akses pembangunan yang lebih merata dan pelayanan publik yang lebih dekat. Namun, hingga kini, mimpi itu masih terganjal pada satu alasan klasik: ketidaksiapan fiskal.

Baru-baru ini, pernyataan Kementerian Dalam Negeri kembali menyiram dingin semangat pemekaran dengan dalih bahwa kemampuan fiskal Pulau Sumbawa belum memadai. Alasan ini bukan hal baru. Ia telah berkali-kali digunakan untuk menahan laju daerah-daerah yang ingin berbenah diri melalui jalur otonomi. Namun, apakah adil jika cita-cita daerah untuk tumbuh dan melayani rakyatnya sendiri selalu dikembalikan kepada kalkulator fiskal semata?

Fiskal memang penting, tetapi bukan satu-satunya ukuran. Banyak provinsi baru di masa lalu yang awalnya tak berdaya secara fiskal kini justru berkembang karena diberi ruang, anggaran, dan kepercayaan. Pulau Sumbawa bukan daerah tanpa potensi. Ia memiliki kekayaan tambang, sumber daya alam, pariwisata, hingga energi terbarukan. Sayangnya, birokrasi yang terlalu tersentralisasi di Mataram membuat semua potensi itu seperti raksasa yang tertidur.

Tokoh-tokoh seperti H. Zulkieflimansyah dan para akademisi NTB telah menegaskan: pemekaran bukan bentuk perpecahan, melainkan penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Justru dengan mendekatkan negara kepada rakyat, stabilitas dan pelayanan akan semakin kuat. Maka menjadi ironi jika ketimpangan pembangunan yang terus berlangsung masih saja disikapi dengan pendekatan teknokratik yang kaku.

Lebih jauh, jika kita terus menjadikan rasio fiskal sebagai satu-satunya kriteria, maka sejatinya kita sedang membiarkan ketimpangan itu membesar. Karena tanpa ada keberanian untuk membagi sumber daya dan mendekatkan kendali anggaran, pertumbuhan di daerah tertinggal hanya akan menjadi retorika kosong.

Saatnya pemerintah pusat mengevaluasi ulang moratorium pemekaran daerah. Evaluasi itu harus bersandar pada pendekatan holistik: bukan hanya angka, tapi juga aspirasi, potensi, dan realitas sosial masyarakat. Pulau Sumbawa tidak meminta keistimewaan. Ia hanya meminta kesempatan untuk tumbuh, berkembang, dan melayani rakyatnya sendiri.

Jangan biarkan harapan itu terus dipinggirkan hanya karena tak cukup digit dalam neraca fiskal. Otonomi adalah soal kepercayaan. Dan Pulau Sumbawa sudah cukup lama menunjukkan bahwa mereka layak dipercaya.

Comment