Oleh: A. Bartolome
Netral.co.id – Fenomena terganggunya proyek investasi besar di Subang oleh aksi organisasi masyarakat (Ormas) menyita perhatian publik. Ketika dua raksasa industri kendaraan listrik BYD dari China dan VinFast dari Vietnam melaporkan adanya intimidasi dari kelompok lokal, banyak yang langsung menunjuk hidung para Ormas sebagai penghambat pembangunan. Namun, jika ditelaah lebih dalam, cerita ini tidak sesederhana itu.
Premanisme berselubung Ormas memang menjadi penyakit kronis dalam iklim investasi Indonesia. Mereka hadir dengan proposal kosong, lalu bertransformasi menjadi tukang gertak yang menuntut jatah proyek atau THR musiman. Ini bukan bentuk partisipasi warga, melainkan pemalakan model baru. Ironisnya, mereka mengklaim mewakili masyarakat lokal, padahal yang mereka wakili hanyalah kepentingan jangka pendek dan struktur informal yang oportunistik.
Namun, apakah semua dosa hanya milik Ormas?
Para investor asing juga tak bebas dari kritik. Banyak dari mereka masuk ke daerah tanpa strategi sosial yang matang, seolah tanah yang mereka injak adalah ruang steril dari dinamika sosial-ekonomi. Mereka membawa teknologi, uang, dan janji lapangan kerja tetapi sering lupa bahwa investasi bukan hanya urusan infrastruktur, tetapi juga integrasi sosial.
Sejumlah proyek besar kerap dilakukan dengan pendekatan eksklusif, tertutup, dan tidak memberi ruang partisipasi bermakna bagi warga lokal. Tak heran jika muncul frustrasi dan akhirnya dimanfaatkan oleh oknum Ormas. Ketiadaan forum komunikasi warga, perekrutan tenaga kerja lokal yang minim, serta tidak adanya transparansi penggunaan lahan dan kompensasi sosial hanya memperparah keadaan.
Ormas liar tumbuh subur karena ada ruang kosong yang dibiarkan. Negara absen mengawal proyek, pemerintah daerah lebih sibuk promosi daripada perlindungan, dan investor kerap cuci tangan dari urusan sosial. Maka lahirlah “penguasa lokal” informal yang merasa berhak menagih bagian, karena negara dan pasar tidak menyediakan mekanisme yang adil dan transparan.
Apakah solusinya hanya represi dan pembubaran Ormas?
Tentu penindakan perlu, tetapi itu saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah tata kelola sosial investasi yang serius. Pemerintah harus hadir sebagai pengatur dan pelindung, bukan hanya fasilitator investor. Sementara itu, Ormas yang benar-benar berbasis komunitas perlu dilibatkan sebagai mitra dalam pengawasan sosial, bukan dibungkam semuanya.
Kita tak bisa membiarkan negeri ini dikuasai oleh premanisme. Tapi kita juga tak boleh membiarkan investasi menjelma jadi kolonialisme baru, di mana rakyat lokal hanya jadi penonton atau korban gusuran. Pembangunan sejati adalah yang menyentuh infrastruktur dan struktur sosial.
Investasi harus berakar, bukan sekadar menancap.
Comment