Jakarta, Netral.co.id – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Abidin Fikri menilai wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, di tengah belum tuntasnya perkara hukum terkait dugaan korupsi sejumlah yayasan Orde Baru, berisiko melukai rasa keadilan masyarakat.
“Kasus dugaan korupsi tujuh yayasan yang melibatkan Soeharto sebagaimana ditetapkan pada tahun 2000 hingga kini belum ada penyelesaian hukum yang jelas,” ujar Abidin dalam pernyataan tertulis, Selasa (6/5/2025).
Ia menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan nasional seharusnya memenuhi kriteria objektif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, termasuk rekam jejak yang bersih dari tindakan melawan hukum.
Bukan Sekadar Simbolik
Abidin menyoroti bahwa gelar pahlawan bukan sekadar penghargaan simbolik, melainkan bentuk penghormatan negara terhadap pribadi yang dianggap memberi kontribusi besar tanpa cacat hukum dan moral.
“Pemberian gelar di tengah persoalan hukum yang belum selesai justru bisa mengikis kepercayaan publik terhadap proses penganugerahan gelar kehormatan,” tuturnya.
Ia juga mengingatkan bahwa masa pemerintahan Soeharto tidak lepas dari bayang-bayang pelanggaran hak asasi manusia (HAM), serta praktik kolusi dan nepotisme yang berdampak sistemik dan masih menyisakan luka bagi banyak korban.
Dewan Gelar Diminta Tidak Gegabah
Abidin mendesak pemerintah, khususnya Kementerian Sosial dan Dewan Gelar, untuk melakukan kajian mendalam serta mempertimbangkan dampak sosial dan sejarah dari keputusan tersebut.
“Pahlawan nasional bukan hanya soal kontribusi, tetapi juga soal teladan moral. Rakyat berharap gelar itu diberikan kepada mereka yang sepenuhnya layak,” ujarnya.
Ia pun mengapresiasi berbagai aspirasi masyarakat sipil yang menyerukan agar usulan pemberian gelar kepada Soeharto ditinjau ulang, dan memastikan Komisi VIII DPR akan terus mengawal proses ini secara objektif dan transparan.
Menteri Sosial Buka Peluang
Sebelumnya, Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyebut peluang Soeharto untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional terbuka setelah MPR mencabut TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang KKN. Pernyataan ini menuai pro-kontra di tengah masyarakat.
“Komitmen terhadap sejarah dan keadilan tidak boleh dikompromikan. Jangan sampai luka lama malah ditabur garam,” pungkas Abidin.
Comment