Jakarta, Netral.co.id – Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kini menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 menuai kritik tajam dari sejumlah pihak, menyusul proses pengesahan dan pengundangannya yang dinilai terlalu cepat dan minim transparansi.
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, mengkritisi langkah pengundangan yang hanya berselang enam hari setelah DPR mengetok palu pada 20 Maret 2025. UU tersebut resmi diundangkan oleh Presiden Prabowo Subianto pada 26 Maret dan dimuat dalam Lembaran Negara RI No. 35 Tahun 2025.
“UU TNI sudah diundangkan jadi UU 3/2025 sejak 26 Maret, atau hanya 6 hari setelah diketok. Siluman banget,” tulis Bivitri dalam unggahan di media sosial X, Kamis (17/4/2025).
Baca Juga: RUU TNI Sudah Di Meja Presiden RI, Lampu Hijau Dari Prabowo
Bivitri menyayangkan kurangnya partisipasi publik dan keterbukaan dalam proses revisi undang-undang yang menyangkut pertahanan negara tersebut. Ia menilai hal ini sebagai kemunduran dalam praktik demokrasi dan proses legislasi yang sehat.
Isi UU tersebut mempertegas peran TNI dalam menjaga kedaulatan dan menjalankan operasi militer, baik dalam maupun luar negeri, sembari menekankan prinsip profesionalisme serta netralitas politik sesuai dengan semangat demokrasi dan supremasi sipil.
Namun, banyak kalangan memandang bahwa revisi undang-undang terkait sektor pertahanan seharusnya dikaji secara terbuka dan melibatkan berbagai elemen masyarakat, mengingat sensitivitas dan dampaknya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca Juga: 4 Poin Penting dalam Revisi UU TNI yang Perlu Dikhawatirkan Publik
Cuitan Bivitri pun memicu respons luas dari masyarakat. Sejumlah warganet menyampaikan kekhawatiran mereka terhadap masa depan demokrasi di Indonesia, menyebut proses legislasi ini sebagai cerminan dari kecenderungan otoritarianisme.
Beberapa pengguna media sosial bahkan menyebut situasi ini sebagai “distopia demokrasi” yang bisa mengarah pada krisis konstitusional menjelang Pemilu 2029 jika pola serupa terus berlanjut.
Comment