Netral.co.id – Lebih dari 2.500 prajurit aktif TNI saat ini menduduki jabatan sipil. Jika revisi UU TNI disahkan, jumlah ini akan bertambah dan berpotensi menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI, warisan Orde Baru yang pernah dikritik habis-habisan saat Reformasi 1998.
DPR dan pemerintah tengah mempercepat pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Targetnya, revisi ini rampung sebelum DPR memasuki masa reses pada 21 Maret 2025.
Salah satu perubahan utama dalam revisi ini adalah memperluas keterlibatan militer dalam jabatan sipil, dari 10 kementerian/lembaga menjadi 15. Selain itu, revisi ini juga mengatur perpanjangan usia pensiun prajurit, yang dapat memicu stagnasi karier dalam tubuh TNI serta membebani anggaran pertahanan.
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, revisi ini dapat mengacaukan tatanan demokrasi dan membuka pintu bagi militerisme dalam pemerintahan, sesuatu yang dulu menjadi trauma kolektif bangsa.
Baca Juga : DPR dan Pemerintah Bahas Revisi UU TNI Tertutup di Hotel Hingga Malam
Pasal-Pasal Krusial dalam Revisi UU TNI
- Pasal 3 – Menegaskan bahwa TNI berada di bawah presiden dalam hal pengerahan dan penggunaan kekuatan militer serta di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan dalam kebijakan dan strategi.
- Pasal 47 – Memperluas jangkauan militer aktif ke dalam lima lembaga sipil tambahan:
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Kejaksaan Agung
- Pasal 53 – Mengubah batas usia pensiun prajurit TNI:
Perwira: dari 58 tahun menjadi 60 tahun
Bintara dan Tamtama: dari 53-55 tahun menjadi 58 tahun
Menurut Ardi Manto Adiputra, Direktur Imparsial, revisi ini akan semakin menegaskan Dwifungsi TNI, yang merupakan pelibatan militer dalam pemerintahan sipil.
“Hakikatnya, ini adalah Dwifungsi militer dalam bentuk baru,” ujar Ardi.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai keterlibatan TNI dalam jabatan sipil dapat menimbulkan sejumlah masalah, di antaranya:
- Mengancam supremasi sipil dalam demokrasi
- Membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan
- Menekan ruang kebebasan sipil
- Membebani anggaran negara dengan perpanjangan usia pensiun
- Menimbulkan bottleneck dalam jenjang karier perwira TNI
Alih-alih menambah daftar jabatan sipil bagi militer, Koalisi justru mengusulkan agar jumlah posisi tersebut dikurangi demi menjaga profesionalisme TNI.
Militerisme dan Bayang-Bayang Orde Baru
Banyak pihak khawatir bahwa revisi ini akan membawa Indonesia kembali ke era Orde Baru, di mana militer tidak hanya berperan dalam pertahanan, tetapi juga menguasai jabatan-jabatan pemerintahan.
Pada puncaknya di era 1990-an, perwira ABRI menduduki berbagai posisi strategis, dari bupati, gubernur, menteri, hingga duta besar. Mereka juga mengendalikan lembaga seperti Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan BUMN.
Bahkan, Babinsa (Bintara Pembina Desa) terlibat langsung dalam politik praktis, ikut menentukan pemilihan kepala daerah, serta mengawasi pemilu.
Sejarah mencatat bahwa praktik ini berujung pada berbagai pelanggaran HAM, seperti Tragedi Tanjung Priok 1984, di mana puluhan warga tewas akibat tindakan represif aparat.
Kini, dengan revisi UU TNI yang sedang dikebut, akankah Indonesia kembali ke masa kelam tersebut?
Reformasi 1998 menegaskan pemisahan antara militer dan politik, tetapi kini batas tersebut tampaknya mulai kabur.
Apakah kita benar-benar ingin kembali ke era militerisme?
Ataukah kita akan tetap mempertahankan prinsip supremasi sipil, di mana militer tetap profesional sebagai alat pertahanan negara tanpa mencampuri urusan pemerintahan?
Keputusan ada di tangan DPR dan pemerintah. Namun, masyarakat sipil perlu terus mengawal agar demokrasi tetap berjalan di jalur yang benar.
Comment