Jakarta, Netral.co.id – Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid, menyoroti keras putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah. Ia menilai keputusan tersebut kontroversial dan mencerminkan MK telah melampaui kewenangannya sebagai penjaga konstitusi.
“MK itu mengaku sebagai guardian of the constitution, penjaga konstitusi. Kalau tugasnya menjaga, ya jangan sekalian ikut ngatur. Ini kan justru membuat norma baru,” ujar Jazilul dalam sebuah diskusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (4/7/2025).
Menurutnya, putusan tersebut bukanlah satu-satunya produk kontroversial dari MK. Ia mencatat MK dalam beberapa waktu terakhir telah beberapa kali mengubah norma hukum secara signifikan, mulai dari putusan terkait batas usia calon presiden-wakil presiden hingga presidential threshold.
“Banyak keputusannya itu bukan hanya menjaga konstitusi, tapi juga ikut membentuk norma baru. Nah, ini yang menimbulkan kontroversi,” tambah Wakil Ketua MPR RI tersebut.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan pemisahan waktu pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah dengan jeda paling singkat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan. Keputusan itu tertuang dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo pada Kamis (26/6/2025).
Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, kecuali jika dimaknai bahwa pemungutan suara dilakukan secara serentak untuk pemilu nasional terlebih dahulu, diikuti pemilu daerah dua hingga dua setengah tahun kemudian.
Perkara ini merupakan hasil permohonan uji materi yang diajukan oleh Yayasan Perludem, yang diwakili oleh Khoirunnisa Nur Agustyati dan Irmalidarti.
Namun, menurut Jazilul, pemisahan pemilu ini justru berpotensi menimbulkan persoalan tata kelola pemerintahan dan memperlemah sinergi antara pemerintah pusat dan daerah. Ia pun mempertanyakan apakah langkah MK ini masih dalam kerangka kewenangan sebagai lembaga yudikatif atau telah berubah menjadi pembentuk norma hukum baru.
“Ini bukan soal setuju atau tidak setuju. Tapi soal peran MK yang harusnya menjaga konstitusi, bukan membuat kebijakan seperti lembaga legislatif,” tandasnya.
Comment