Tak Ada Toleransi untuk Kekerasan Seksual di Sekolah

42b4f3db 238e 46af a1ac bd0461fcd27a

Makassar, Netral.co.id — Kasus dugaan pelecehan seksual terhadap siswi sekolah dasar oleh seorang guru di Makassar mengguncang dunia pendidikan.

Oknum guru berinisial IPT (32) diduga berulang kali melecehkan siswinya dengan modus les privat, hingga akhirnya ditangkap oleh tim kepolisian pada akhir September lalu.

Kasus ini bukan hanya menyingkap perilaku individu yang menyimpang, tetapi juga memperlihatkan celah dalam sistem perlindungan anak di lingkungan sekolah.

Rentetan peristiwa serupa sebelumnya menunjukkan belum optimalnya mekanisme pencegahan, pelaporan, dan penanganan di tingkat satuan pendidikan.

Ketua Bidang Pendidikan dan Literasi Pemuda KNPI Kota Makassar, Sofyan Basri mengatakan kasus ini harus menjadi alarm keras bagi dunia pendidikan untuk berbenah.

“Tidak boleh ada toleransi sedikit pun bagi guru atau pendidik yang menyalahgunakan kepercayaan untuk kepentingan predatorik. Sekolah harus menjadi ruang aman, bukan ruang ancaman bagi anak,” ujar Sofyan , Sabtu (4/10/2025).

Ia menambahkan kasus seperti ini menegaskan pentingnya implementasi nyata dari kebijakan nasional tentang pencegahan kekerasan seksual di satuan pendidikan.

Pemerintah melalui Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 telah mewajibkan setiap sekolah membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang bertugas menerima laporan, melakukan investigasi, dan memberikan perlindungan bagi korban.

“Permendikbudristek No. 46 itu bukan sekadar dokumen administratif. Itu adalah komitmen moral dan hukum untuk melindungi anak dari kekerasan berbasis kuasa,” kata Sofyan.

Dosen Prodi Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Makassar, menilai masih banyak sekolah di daerah yang belum memahami sepenuhnya substansi aturan tersebut.

“Dinas Pendidikan dan stakeholder terkait harus bersinergi dalam memperkuat pencegahan kekerasan seksual, baik melalui pelatihan maupun kurikulum yang lebih empatik,” jelasnya.

Perlu Budaya Baru di Sekolah

Kasus ini menunjukkan bahwa pendidikan moral dan etika profesi guru harus diperkuat, bersamaan dengan pembenahan sistem kelembagaan.

Sekolah tidak cukup hanya memiliki regulasi tertulis, tetapi perlu menumbuhkan budaya yang menolak segala bentuk kekerasan dan pelecehan.

“Pendidikan bukan hanya soal transfer ilmu, tapi juga pembentukan nilai kemanusiaan. Guru harus sadar sebagai pemegang amanah sosial, bukan kekuasaan atas tubuh dan perasaan siswa,” tegasnya.

Ia juga mengajak organisasi pemuda, lembaga sosial, dan komunitas mahasiswa untuk aktif berpartisipasi dalam sosialisasi anti-kekerasan di sekolah.

“Kita perlu kolaborasi lintas sektor agar sekolah benar-benar menjadi tempat yang mendidik, bukan menakutkan,” ujarnya.

Keadilan untuk Korban

Selain proses hukum terhadap pelaku, Sofyan menekankan pentingnya pemulihan psikologis korban.

Ia mengingatkan agar korban tidak kembali distigmatisasi di lingkungan sekolah maupun sosial.

“Pemulihan korban harus menjadi prioritas utama. Jangan biarkan mereka menjadi korban dua kali, pertama oleh pelaku, kedua oleh lingkungan yang abai,” katanya.

Ia menegaskan bahwa dunia pendidikan harus menolak budaya diam dan membangun sistem pelaporan yang aman, rahasia, dan berpihak pada korban.

“Setiap anak berhak belajar tanpa takut. Tugas kita semua memastikan hal itu terjadi,” pungkasnya

Comment