Sinisme Dalam Ruang Publik

netral.co.id

Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah (Unismu) Makassar, M Arif Budiman. Dok Netral.co.id

Oleh: M Arif Budiman
Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Publik
Universitas Muhammadiyah (Unismu) Makassar

Era posh truth membuat pengetahuan saling interkoneksi antara satu dengan yang lain,artinya satu bidang keilmuan saling terpaut dan terhubung dengan bidang tertentu, bahkan tidak memiliki batasan ruang,dalam konteks yang lebih umum yasraf menjelaskan dengan baik soal masyarakat cyber space.

Di mana kita meninggalkan jasad atau fisik kita di luar (out of body), sementara jiwa dan pikiran kita sudah melayang di ruang maya (in cyber space). Digitalisasi ditandai dengan pikiran, perasaan dan emosi seseorang di konversikan dalam bentuk digital melalui platfom media social, big data, dan lain sebagainya.

Hal ini mempermudah kita dalam identifikasi identitas, bahkan membaca perilaku pikiran, dan perilaku emosional orang lain, artinya cyber space (dunia maya) merupakan representative dari real space (dunia nyata). Bahkan tidak jarang ada banyak melakukan penelitian atau riset hanya menggunakan platfom media social.

Akhir-akhir ini ada gejala ditengah kehangatan berwarga negara (citizenship) yang berpotensi merusak ruang publik kita, yaitu fenomena sinisme, kelompok sinisme tidak memiliki identitas tapi ada di setiap tempat, ada di kolom jembatan, di tempat-tempat kumuh, diwarung kopi, perkantoran, tempat-tempat elit, bahkan di istana negara.

Perilaku sinis atau tendensius sangat berbahaya, karna berpotensi melahirkan benturan diruang publik, saling caci maki, saling menyerang bahkan berdampak pada kekerasan verbal, psikis dan fisik.

Menjadi tragis adalah adanya pihak yang mencoba mengambil keuntungan dari situasi ini, bahkan potensi orang-orang sinisme di ternak oleh oligarkis menjadi mungkin sebagai bentuk dari counter attack dari kritikan masyarakat terhadap pemerintah, bahkan “Ketika di kritik di anggap dan di golongkan sebagai kelompok sinis yang anti-pemerintah”.

Sebenarnya bahasa seperti ini yang sudah di antisipasi oleh mouffe, bahwa setiap kritikan ada dimensi emosi, hasrat, dan identitas, yang perlu di perhatikan dalam menciptakan ruang demokrasi yang baik, berbeda dengan hubermas yang mereduksi semua itu menjadi satu aspek fundamental, yaitu ’’rasionalitas’’ bagi hubermas ’the ideal of conditional speak’’.

Dimana kondisi yang memungkinkan kita untuk berbicara yang ideal tanpa embel-embel apapun, tetapi ini nggak kompatibel dengan praktik, secara faktual masyarakat publik kita masih tergolong variatif soal pemahaman dan informasi, seperti seorang petani awam.

Atau preman awam yang dipaksakan harus rasional tentang debat politik diruang publik, hal ini menjadi tugas bersama bagi praktisi pada bidang apapun untuk tetap berinovasi dalam menemukan metode dan alternatif lain untuk menjaga ruang publik (public sphere) tetap demokratis.

Comment